<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Thursday, May 31, 2007

Profil Korban Penghilangan Paksa 1997-1998

Korban Penculikan Aktifis Pro Demokrasi 1997/1998

Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998, terjadi penghilangan orang secara paksa atau dengan kata lain penculikan. Korban penculikan adalah para aktivis dan mahasiswa yang gigih berjuang menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru.
Oleh penguasa mereka dianggap sebagai orang-orang atau kelompok yang membahayakan serta merongrong negara, karena mereka memunculkan dan melembagakan pemikiran-pemikiran dan ide-ide yang baru yang menurut penguasa merupakan ancaman dalam menjalankan roda pemerintahan.

KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat ada 23 orang aktifis. 9 orang diantaranya telah dibebaskan karena desakan masyarakat luas, sedangkan 14 yang lain masih tidak diketahui nasib dan keberadaannya.

Mereka yang sudah dibebaskan:
1. Desmond Junaidi Mahesa, sarjana lulusan Fakultas Hukum, Universitas Lambang Mangkurat. Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 12 Desember 1965. Ketika diculik, dia adalah direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta, yang beralamat di Jalan Cililitan I no 11 Rt 07/08 Jakarta Timur. Dalam tugas kesehariannya lebih banyak mengurusi kasus-kasus hukum yang berkaitn dengan kebijkan pemerintah antara lain: penggusuran tanah, tegangan tinggi dan lain sebaginya. Selain aktif sebagai direktur LBHN dia juga anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), serta Forum Kebangsan Indonesia, yang bertujuan untuk mensupport “Lengser Keprabon Mandek Pandito” yang diucapkan oleh Bapak Soeharto. Ia kini menjadi pengacara profesional, dan menjadi pengacara konglomerat Eka Cipta Wijaya, serta pembela Tommy Winata dalam kasus penyerangan terhadap kantor Majalah Tempo.

2. Aan Rusdianto, lelaki kelahiran 13 April 1974 di Purworejo, Jawa Tengah. Saat diculik ia sedang berada di Rumah Susun Klender, Jakarta Timur, dia berprofesi sebagai Pengurus Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kini ia aktif di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan beberapa lembaga kerakyatan lainnya.

3. Faisol Reza, laki-laki yang berkaca mata dan lebih akrab dipanggil Riza, kelahiran 1 Januari 1973 di Probolinggo, Jawa Timur. Ketika diculik, ia adalah salah satu pimpinan PRD yang waktu itu beroperasi “dibawah tanah”. Setelah dibebaskan ia dipilih untuk menjabat sebagai ketua Partai Rakyat Demoratik (PRD) yang mengikuti Pemilu 1999. Jebolan berbagai pesantren ini sekarang aktif diberbagai organisasi politik alternatif.

4. Andi Arief, sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, jurusan Ilmu Pemerintahan. Ia dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 November 1970. Ketika diculik di Lampung, ia adalah salah satu pentolah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kini ia sedang menekuni dunia bisnis dan politik, tinggal di Bandar Lampung.

5. Nezar Patria, pria yang berkepribadian tenang, dan sering dipanggil dengan Nezar ini dilahirkan di Sigli, Aceh, pada tanggal 5 Oktober 1970. Ia adalah sarjana Filsafat, Universita Gajah Mada. Selama menjadi mahaiswa, aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan Jamaah Salahudin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM ( 1992-1996), dan terakhir dia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) tahun 1996. Ketika diculik, ia sedang bersama Aan Rusdianto di Rusun Klender. Sekarang ia menjadi wartawan Majalah Tempo.

6. Pria yang bernama lengkap Raharja Waluya Jati ini akrab dipanggil Jati dan dilahirkan di Jepara, pada tanggal 24 Desember 1969. Ia diculik ketika sedang bersama Faisol Riza berjalan dari YLBHI di Cikini. Ketika diculik, ia adalah salah satu pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan tengah belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM). Sekarang ia menjadi Direktur Radio Voice of Human Rights.

7. Mugiyanto, atau kerap di panggil Mugi, dilahirkan di Jepara pada tanggal 2 November 1973. Ketika diculik, ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Ia diculik beberapa saat setelah Aan Rusdianto dan Nezar Patria diambil dari Rusun Klender, Jakarta Timur. Saat itu, ia adalah salah satu pimpinan PRD yang mengurusi bidang internasional. Sekarang ia menjadi ketua organisasi para korban dan keluarga korban penghilangan paksa (penculikan), IKOHI.

8. Pius Lustrilanang, lahir di Palembang 34 tahun yang lalu. Ketika diculik, ia adalah karyawan di ISAI (Institut Studi Arus Informasi), Aktivis Aldera (Aliansi Demokratik Rakyat) serta Sekertaris Jenderal Solidaritas untuk Amien dan Mega (SIAGA) bertempat tinggal di Bandung. Sekarang ia membentuk organisasi para militer atau laskar bernama BRIGASS (Brigade Siaga Satu)

9. Haryanto Taslam, adalah aktifis DPP PDI yang punya jaringan ke grassroot PDI Megawati. Ia kemudian diculik dan beberapa bulan kemudian dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia tidak mau memberikan kesaksian seperti yang lain. Ia kini menjadi anggota DPR dan Fungsionaris DPP PDI-P.

Mereka yang Masih hilang:
1. Yani Afri, lelaki yang biasa di sapa Rian, bekerja sebagai sopir dan kelahiran Jakarta 26 April 1971, merupakan korban penculikan 1997, kasus dia diketahui setelah ada laporan dari orang tua korban yakni ibunya, yang bertempat tinggal di jalan dewa kembar RT 07/01 Jakarta Utara, selain sebagai sopir dia uga aktif sebagai anggota Parta Demokrasi Indonesia (PDI), Jakarta utara.

2. Noval Al Katiri, dengan panggilan Noval sebagai pengusaha kelahiran 25 Mei 1967 dia sebagai direktur PT , pria yang bertempat tinggal di Jalan S no 20 Kebon Baru Tebet Jakarta Selatan adalah pendukung berat Mega-Bintang pada Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 1997.

3. Dedy Umar, dengan sapaan akrab Hamdun, pria kelahiran Jakarta 29 Juli 1954, suami dari artis Eva Arnas. Selain berprofesi sebagai pengusaha yang beralamat di Jalan Kebon Nanas Selatan II/2 Jakarta Timur, dia aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

4. Ismail, sopir dari Dedi Hamdun, yang lahir di Jakarta, dia diculik karena menurut pelaku, korban mengetahui tentang penculikan Dedy Hamdun dan Noval Al Katiri.

5. Herman Hendrawan, pria kelahiran Pangkal pinang 29 Mei 1971 adalah mahasiswa pada sebuah Universitas Negeri di Surabaya (Unair). Mahasiswa yang tinggal di Karang Tengah, Ciledug sementara orang tuanya sendiri tinggal di Pangkal Pinang, Bangka juga pada kegiatan-kegatan yang siftanya politis, hal itu terlihat dengan aktifnya dia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD)

6. Petrus Bima Anugerah, pria kelahiran Malang 24 September 1973 selain sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Jakarta, juga aktif dalam beberapa kegiatan politik seperti di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) sebagai pengurus pusat dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

7. Suyat, lelaki kelahiran 1 Oktober 1975 di Sragen, Jawa Tengah. Selain sebagai mahasiswa fakultas sosial dan politik di Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, dia aktif dalam kegiatan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

8. Yadin Muhidin, pria yang lahir di Jakarta 11 September 1976, setelah lulus Sekolah pelayaran langsung mengikuti beberapa ujian untuk masuk kerja di pelayaran. Bertempat tinggal di Jalan Baru Selatan Jakarta Utara ini bukanlah pemuda yang aktif dengan kegiatan-kegiatan politik. Kesehariannya di isi dengan aktifitasnya berkumpul sama-sama dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Kalaupun aktif biasanya hanya pada acara-acara besar seperti buka puasa bersama di bulan Ramadhan dengan teman-teman Musholla di dekat rumahnya

9. Hendra Hambali, pelajar Sekolah Menengah Atas lahir Jakarta.

10. Ucok M Siahaan, mahasiswa Perbanas, kelahiran Jakarta, 17 Mei 1976, beralamat di Jalan Taufiq Rahman 47 Beji Timur Depok. Aktifitasnya tidak begitu diketahui oleh pihak keluarganya selain sebagai seorang mahasiswa apalagi untuk ikut politik-politikan. Pada tanggal 12 Mei 1998 sebelum lengsernya Soeharto, Ucok sempat mengatakan kepada Ibunya bahwa sebentar lagi Soeharto lengser.

11. M. Yusuf, pria yang sering dipanggil Yusuf, dia berprofesi sebagai guru, kelahiran Jakarta 18 September 1969, beralamat di Jalan Raden Saleh II/1 no 7 Jakarta Pusat.

12. Sonny, selain aktifitasnya setiap hari sebagai seorang supir ternyata dia juga aktif dalam perpolitikan yaitu fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Utara.

13. Wiji Thukul, yang kerap dipanggil teman-temannya dengan Wiji Tukul, lahir di Surakarta, 03 November 1967, sebagai anak dari tukang becak di kampung kumuh Sorogenen. Seorang penulis puisi revolusioner yang juga seorang organizer rakyat yang militan, hampir semua karya puisinya berisi protes tajam terhadap kediktatoran rezim orde baru. Dan salah satu puisinya yang berjudul "Peringatan" yang dalam satu baitnya tertulis: …maka hanya ada satu kata: lawan!!!, yang diteriakkan setiap aksi aksi rkyat Indonesia. selain menciptakan karya-karya puisi dia juga menciptakan lukisan cukil kayu. Lelaki yang juga aktif di JAKKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat ) yang termasuk underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Yang ditemukan meninggal:
1. Leonardus Gilang
Seorang aktifis pengamen jalanan yang sering terlibat aksi mahasiswa di Jogja dan Solo. Gilang hilang pada bulan April 1998 di Solo, dan ditemukan 3 hari kemudian di Magetan Jawa Timur dalam keadaan meninggal dengan luka-luka tembakan di tubuhnya.

Support Indonesia Ratify Rome Statute on ICC

Indonesia

Asia remains significantly under represented at the ICC with only 5 States Parties: Afghanistan, Cambodia, Mongolia, Republic of Korea and Timor Leste. Greater Asian participation is therefore crucial to ensuring that the ICC truly consolidates as a robust global international institution representing the various legal cultures around the world.

In 2004 Indonesia’s Human Rights Action Plan set 2008 as a target date for accession to the Rome Statute and civil society groups and parliamentarians have been working since then to ensure that this timeline is maintained. Indonesia’s accession is expected to generate an important effect in the region, particularly with other ASEAN States.

From May 7th to 9th, the CICC organized its 2007 Asia Regional Meeting in Jakarta, Indonesia in coordination with Forum Asia and national partners IKOHI and ELSAM. More than 20 CICC members from 16 countries in Asia came together to share strategies, define targets and set campaign goals for ratification and implementation of the Rome Statute in the region.

A delegation composed by several organizations participating in the strategy session met with representatives from the Ministry of Foreign Affairs, National Assembly and Ministry of Justice and Human Rights who all reaffirmed the government’s commitment to moving forward with the accession process.

More than half of the world has ratified the Rome Statute, which came into force in July 2002 and today counts one hundred and four states who have acceded to or ratified the treaty.
Indonesia’s accession to the treaty would strengthen Asian representation at the Court and would assist the region in gaining a stronger voice as an advocate for global justice, helping make the ICC a truly effective and international mechanism for justice and peace.


Take Action Now!
Support the CICC’s appeal by sending letters by mail or fax urging the government of Indonesia to accede the Rome Statute and implement it into national law.

Send your letter to:
H.E. Mr. Hassan WirayudaForeign Minister of the Republic of IndonesiaJl. Taman Pejambon 6, Jakarta Pusat 10110INDONESIA

or you can seet at the following link: http://www.iccnow.org/?mod=urc0507


Your Excellency,I am writing to you to call upon the Indonesian government to move swiftly and promptly accede to the Rome Statute of the International Criminal Court. As the first permanent world court capable of trying war crimes, crimes against humanity and genocide, the ICC constitutes a critical development in the strengthening of human rights and the rule of law.

As you know, Asia remains underrepresented at the Court with only 5 States Parties, namely Afghanistan, Cambodia, Mongolia, Republic of Korea and Timor Leste. Greater Asian representation and participation is crucial to ensuring that the ICC truly consolidates as a robust global international institution representing the various legal cultures around the world.

I was pleased to learn of declarations made on February 9, 2007 by the Director General of the Ministry of Law and Human Rights, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, announcing that the government would intensify preparations of the legislation required to accede and implement the Rome Statute in Jakarta.

I hope that these statements will be in line with the original commitment expressed by Indonesia’s 2004 Human Rights Action Plan setting 2008 as a target date for accession and that we may soon witness Indonesia as an additional Asian State Party to this historic institution.

Sincerely,

Monday, May 14, 2007

Nunca Mas Colombia

"NUNCA MÁS"
CRIMES AGAINST HUMANITY IN COLOMBIA

The great challenges, that the Colombian reality faces today, are marked by a systematic process of human rights violations. These constitute the basic background in which the work of defending human rights comes closer to the search processes of a political way out of the present internal social and armed conflict. In our view, one of the factors that determines the continuity and deepening of this human rights crisis mostly is the IMPUNITY.

The impunity constitutes of an open denial of justice and the right to know the truth. The state’s obligation of punishment can not be negotiated nor be relieved for any reason at all. A state that defends the impunity calls into question its legitimacy, because the guaranty of human rights, fundamental base of the constitutional state, has no meaning when the state fails to sanction those responsible for human rights violations.

Colombia Nunca Más is an initiative with the goal of contributing to the struggle against impunity of the crimes against humanity committed in Colombia , between 1966 and 1998, with the perspective of recuperating the historic memory. This process that was started by a dozen human rights organizations six years ago, has now reached a national level with 17 social and human rights organizations .

It is realized through numerous organizations of workers, peasants, communities, churches etc. with a local, regional or national character. They have formed working groups through out the country. Together, we have collected documented information of more than 38.000 victims of torture, forced disappearance and/or extra-judicial execution, all over the country.

Colombia Nunca Más also tries to contribute to the analysis so that the economical and political causes of the crimes can be understood, as well as the specific contexts of the time and the struggle, the coincidence of the conflicts that lead to the violations, the actors involved, the mechanisms used to commit those crimes and to guaranty their impunity, and the damage caused to the communities and organizations.

For methodological reasons, Colombia Nunca Más has divided the country into zones according to a logic that obeys, more than the current political-administrative division, to the economical and political dynamics, as well as to the forms of repression that have been implemented by the establishment. This is being done with the aim of exterminating the organization process generated by the people, like the alternatives of resistance and dignity.

Also, the investigation brings back to mind the specific and particular facts of what has happened in the different parts of the country, without loosing the national perspective on the strategy of extermination that has been put upon the Colombian people. Given the magnitude of the job, and because of the limitations an experimental undertaking like this brings along itself, Colombia Nunca Más presented the first report a year ago. This report contains a characterization of has been the cycle of violence that started in Colombia in 1966, the values that form the basis of our reaction against this reality, which are truth and justice.

These are the rationales for investigating just the crimes against humanity, together with the experience of the regions that have been tortured by the official terror, like the departments of Meta and El Guaviare and the regions of Northeast Antioqueño and southern Magdalena Medio.

The crimes that have been documented with testimonies, analysis of the penal and disciplinary processes and general information about the economic and political dynamics of the regions wehere the crimes have been committed. Why is it necessary to fight against the impunity of crimes against humanity?Because the impunity is not a juridical problem only. It’s a social phenomenon with grave political and cultural consequences, that has already taken away the safety of the citizens –to begin with the victims–, that legitimizes what has been done to eradicate the civilized society.

The impunity gives the society the message that there is space for a democratic solution of the conflicts. And as a result there is the factor of social demobilization. Since impunity creates a deformed historical consciousness, a compulsive forgetting is installed and it forbids the historical memory; the truth is replaced by an amnesia caused by terror.Those who have part in this initiative for struggle against impunity in Colombia also are conscious of the difference with Argentina, Uruguay, Chile or Guatemala.

In Colombia we are stuck halve way on the road through the mist. Also it clear to us that the recuperation processes of our memory are not aseptic or painless; recovering our pain and our memories will produce a reaction. But we believe that, depending on us, this reaction is stuck in an unmovable pain, or does in the contrary a step forward to what we call the dignification of the victims, of their lives and their accomplishments. We can assist to this by contributing to the transformation of the ‘official history’ and the changing of individual memories, hidden in the collective memory of a people that does not want to repeat nor permit new disgraces in the name of the state, and that fights so that these atrocities will be committed NEVER AGAIN.

The memory has a collective sense of incorporated values, recollections and examples from the past, necessary to live in the present. These values are the traditions on which the present is built. But this construction is not univocal, it’s the struggle for a sense of history, it’s the dispute amongst social subjects for the contents of these values and this tradition.

Colombia Nunca Más accepts the challenge in the struggle for the memory and against the forgetfulness. It’s a challenge with a positive sign. We seek to contribute to the victory over such a great crisis in human rights, and to the construction of a society where no repetition of these crimes will be possible.The dimensions that this phenomenon has reached in our country demand a profound analysis, when to make alternative proposals that promote a transformation of the institutional and para-institutional mechanisms that have impaired the materialization of the hopes for justice of the victims, their families and organizations.

A political and ethical will is necessary to brake the silence and fear, grown into the communities by the years. We can open the roads to coexistence and complete democracy in the country. Promote the creation of a social movement of struggle against impunity of crimes against humanity in Colombia.But more important might be the conviction that the solution of the human rights crisis and the victory over the impunity is reached through the clear rejection of these type of practices by the Colombian society.

“Nunca Más” presents itself to the communities in terms of an opportunity to fight the impunity and of a contribution from the human rights organizations.Colombia Nunca Más is a project for justice, that is a great desire for the whole society. It aspires to give a different perspective on the problem of impunity. If the message of memory is that of the search for truth, that the struggle against impunity is the message of obtaining justice, this is contradictory to revenge. The project does not wish to declaim against or deny the victims of other modes of violence by the phenomenon of impunity.

Starting from a memory exercise The Never Again Project seeks to pave the roads (from a non-governmental perspective) which is necessary to reach victory over impunity, responding to the following challenges: The struggle for truth: This is the aim to give back to memory its historical and cultural dimensions. It implies working on two tracks. Firstly, identifying the victims of the violence, so that they get back their value, their dignity and their struggles.

Secondly, furnish elements of information, sufficient to explain the how and why of the crimes and of the ones responsible, and sufficient to have a sincere social debate about what has happened.The struggle for justice: Obtaining justice is the only way impunity can be considered overcome. The conviction and sanctioning of those responsible is the greatest challenge in the struggles against impunity. The struggle for this desire is what causes the most frustrations to the human rights movement in Latin America in the periods of victory of the grave human rights crisis.The struggle for total rehabilitation of the victims: the impunity strikes against the right of rehabilitation. Indemnification and rehabilitation of the victims human rights violations.

The special reporter on the right of rehabilitation Theo Van Boven signals that: "In a social and political atmosphere in which the impunity prevails, it is likely that the right of rehabilitation that victims of flagrant human rights violations and of fundamental liberty violations have, will be a mere illusion.”We are inspired by a stubborn and immense sense of hope, that one day dignity and justice will be possible in our country.

We are also inspired by the permanent solidarity of peoples and sister organizations, that from different parts of the world have accompanied the Colombian communities and organizations. Since many years many of those have preceded us in the struggle so that NEVER AGAIN crimes against humanity will be committed in their countries or in other parts of the world.


August 2002

1 When we refer to the crimes against humanity, we speak of grave violation of the international law on human rights, that insult the ethical conscience of humanity and denial the validity of the indispensable norms for human existence. The crimes that occur most in our country are extra-judicial executions, forced disappearances and torture.

2 Convocing Organizations of Colombia Nunca Mas: Asociación de Familiares de Detenidos Desaparecidos –Asfaddes-, Colectivo de Abogados “José Alvear Restrepo", Comisión Intercongregacional de Justicia y Paz, Comité de Solidaridad con los Presos Políticos, Comité Permanente por la Defensa de los Derechos Humanos, Comisión Interfranciscana de Justicia, Paz y Reverencia con la Creación, Corporación Sembrar, Comité Regional de Derechos Humanos de Santander –Credhos-, Fundación Reiniciar, Colectivo de Derechos Humanos Semillas de Libertad -Codehsel-, Corporación Jurídica Libertad, Comunidades Eclesiales de Base y Grupos Cristianos de Colombia -Cebs,- Humanidad Vigente Corporación Jurídica, Fundación Manuel Cepeda, Asociación Nacional de Usuarios Campesinos Unidad y Reconstrucción -Anuc-UR-, Asociación Nacional de Ayuda Solidaria –ANDAS-, Misioneros Claretianos de Colombia.

Ratifikasi ICC sebagai Terobosan Penegakan HAM

Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan
Penegakan Keadilan di Indonesia
[1]
Mugiyanto[2]


ICC merupakan pengadilan permanen dan independen internasional yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara di dunia untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC
Pada bulan Juli 1998 sebuah Konferensi Diplomatik di Roma Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstein). Statuta yang kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak 1 Juli 2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara.

Berdasarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).

Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan.

Pentingnya Ratifikasi bagi Indonesia
Indonesia adalah salah satu peserta aktif dalam Konferensi Diplomatik di Roma 1998 yang melahirkan ICC. Sejak saat itu Indonesia sudah menampakkan diri untuk menjadikan dirinya sebagai negara pihak (state party) dari ICC. Niat ini juga ditunjukkan dengan diundangkannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma tentang ICC. Namun sayangnya, adopsi setengah-setengah atas prinsip-prinsip Statuta Roma ini menjadikan UU No 26 tahun 2000 menjadi tumpul dan tidak bisa memberikan penghukuman bagi pelaku. Lebih dari itu, Undang Undang tentang Pangadilan HAM tersebut justru dijadikan tameng impunitas sebagaimana nampak pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan HAM kasus Abepura.

Selama ini, komitmen Indonesia untuk bersama-sama masyarakat internasional melawan impunitas dan mewujudkan ratifikasi universal atas ICC nampaknya hanya jargon-jargon semata, karena pada kenyataannya Indonesia baru merencanakan melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC pada tahun 2008, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (RANHAM 2003-2008), Padahal, kalau serius sejak awal, ratifikasi bisa dilakukan jauh lebih cepat, paling tidak pada tahun 2007 ini.

Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur konsistensi pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini.

Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.

Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague ini semisal dalam pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties – ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang mungkin dilakukan terhadap ICC.

Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global.

Perlunya komitmen nyata
Proses ratifikasi ICC yang sudah dicanangkan Indonesia memang mengalami kemajuan. Namun ucapan berbusa baik itu oleh pemerintah maupun DPR tidak akan memberikan kemajuan berarti, karena yang diperlukan adalah kerja. Dan karena adalah DPR dan pemerintah yang musti merumuskan naskah ratifikasi, kerjasama keduanya adalah sesuatu yang mutlak. Komitmen pemerintah dan DPR harus segera direalisasikan sebagaimana pesan yang disampaikan Mantan Sekjen PBB Kofi Annan, dalam pidato sambutannya di hadapan Parlemen Swedia pada bulan Mei 1999 “... Saya mendesak Anda dan anggota parlemen Anda di seluruh dunia untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa ini secepat mungkin.”

Selain itu, ratifikasi juga bukan merupakan akhir dari pekerjaan ICC. Untuk memastikan ICC bisa berjalan, peraturan pelaksanaannya juga perlu dirumuskan. Belum lagi ketika pemerintah nanti dihadapkan pada lobi-lobi Amerika untuk mengecualikan warga negara mereka dalam yurisdiksi ICC melalui BIA (Bilateral Immunity Agreement) atau NSA (Non Surrender Agreement) untuk Indonesia yang sebetulnya tidak begitu kental lagi dalam konstelasi politik Amerika saat ini.

Penutup
Secara formal, Ratifikasi ICC oleh Indonesia tidak secara langsung menjadikan kasus-kasus besar pelanggaran berat HAM seperti kasus tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa 1998 dan kasus-kasus 'masa lalu' lainnya bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Akan tetapi, ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi dilakukannya perubahan (amandemen) fundamental bagi perundangan mengenai HAM dan pengadilan HAM, terutama bagi UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadi monumen peringatan (warning) bagi para calon dan residivis diktator dan penjahat HAM untuk tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan HAM sebagaimana mereka lakukan pada masa lalu, kecuali mereka mau meghadapi pengadilan di Den Haag.

Ratifikasi ICC Secepatnya!

[1] Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Publik tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam rangka CICC Asia Strategy Meeting, kerjasama CICC, Forum Asia, Elsam dan IKOHI, 9 Mei 2007
[2] Mugiyanto adalah Ketua IKOHI dan AFAD

Indonesia to Ratify Rome Statute of ICC

Ratifying ICC to 'deter rights crimes'
National News - Thursday, May 10, 2007
Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta


Indonesia's anticipated ratification of the Rome Statute of the International Criminal Court (ICC) is expected to have a deterring effect on serious crimes by the state because of the possibility of involvement by the international court in conducting investigations and prosecutions.

Scheduled for next year, the ratification will oblige Indonesia to comply with the international court's prosecution processing standards in trying crimes involving genocide, crimes against humanity, war crimes and aggression.

Not retroactive in nature, the court deals only with crimes committed after it took effect July 1, 2002, following ratification by the 60th country.

Mugiyanto, an activist and head of the Affiliation of Families of Missing Persons, said Wednesday that ratification would grant another layer of protection to Indonesia's citizens, allowing them to personally file cases with the Hague-based court.

"It will be a warning to future dictators and human rights violators not to engage in such crimes, as in the past, unless they want to face the international court," he said at a seminar attended by over 20 Asia-based non-governmental organizations, which are all members of the Coalition of ICC.

The statute's ratification, Mugiyanto said, would also justify demands to amend the 2000 Law on Human Rights Court, which he said is full of legal loopholes and favors key culprits.

"The law will have to insert an internationally-recognized rule of procedures in trying grave crimes to ensure fair trials. It will also state, as is the case in the ICC, elements of such crimes that our law doesn't include at all," he said.

Mugiyanto stressed, however, that the government should stick to its commitment of abolishing impunity, which activists believe continues and has led to the failure to bring down the mastermind of the 1984 Tanjung Priok massacre and to prosecute anyone over the Trisakti, Semanggi I and II student shootings.

The Foreign Ministry's director of economic, social and culture rights at the Directorate General of Multilateral Cooperation, Suryana Sastradiredja, said his office had been in talks with those with interests in the planned ratification, including the Indonesian Military and the Attorney General's Office.

"It's clear that we'll ratify the statute with support from the parliament, which we've gained. It will deter future crimes on human rights and lessen impunity," he said.
Suryana said Indonesia had declined to sign the much-criticized Non-Surrender Agreement with the United States, which seeks to exempt the citizens of both countries from international court.

The statute has been ratified by 104 countries, each of which is now compelled to upgrade legislation to a level applied by the ICC.

While non-members are not required to meet such obligations, their citizens are still subject to investigation should they commit grave crimes in a member country.

The ICC can pursue investigation and prosecution if its prosecutors believe a human rights crime has occurred based on public information or if a state or the UN Security Council requests such action.

The court will take action only if a country's justice system is unable or unwilling to take measures against alleged criminals. More information on the court is available at www.icc-cpi.int.

Indonesia is currently chairing the UN's new Human Rights Commission and is a non-permanent member of the UN Security Council.

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)