<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Monday, March 17, 2008

Terobosan Bagi Pengadilan HAM Ad Hoc



Putusan Mahkamah Konstitusi:
Terobosan Bagi Kebuntuan Pengadilan HAM Ad Hoc

Oleh Mugiyanto*


Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi 21 Februari 2008, mengabulkan sebagian permohonan Eurico Guterres, tentang kata “dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kata “dugaan” dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan konstitusi negara Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945.

Untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti, menurut Mahkamah Konstitusi perlu keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu Dewan Pertimbangan Rakyat atau DPR.

Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik.
Lalu apa makna putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bagi usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc dan korban pelanggaran HAM? Tulisan ini akan menguraikan secara singkat pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Dampak Bagi Kepastian Hukum
Eurico Guterres adalah terpidana penjara 10 tahun atas kasus pelanggaran berat HAM paska jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999. Ia merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh Undang Undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberi wewenang kepada DPR untuk menyimpulkan adanya “dugaan” terjadinya pelanggaran berat HAM dan merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Guterres menganggap undang undang tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan menyeret DPR masuk wilayah criminal justice process atau due process of law. Secara khusus Guterres menganggap bahwa undang undang tersebut melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 24A ayat (5), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Atas alasan itulah, pada bulan Juni 2007, Eurico Guterres mengajukan permohonan pengujian undang undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Tidak hanya Eurico Guterres yang merasa dirugikan oleh undang undang tersebut. Korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM juga merasakan hal yang sama. Mereka menjadi korban lanjutan dalam bentuk ketidakpastian hukum karena penanganan kasus yang sangat lambat dan berlarut-larut.

Jaksa Agung tidak segera melakukan penyidikan atas hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Dengan dalih Pasal 43 ayat (2) Undang Undang Pengadilan HAM Jaksa Agung mengatakan baru akan melakukan penyidikan setelah Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.


Hingga saat ini, paling tidak terdapat 3 berkas hasil penyelidikan pelanggaran berat HAM yang mustinya disidik Jaksa Agung untuk selanjutnya dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Ketiga berkas penyelidikan tersebut adalah kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS), kasus Kerusuhan Mei 1998 dan kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997/1998.

Berkas ketiga kasus tersebut telah mengendap di Kejaksaan Agung sejak tahun 2001, 2004, dan 2005. Dihitung dari kejadian peristiwa, sudah sekitar 10 tahun terakhir, nasib korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM untuk kasus yang disebutkan di atas di gantung dan berada dalam ketidakpastian.

Putusan MK Sebagai Terobosan
Bagi korban dan para pencari keadilan, lembaga-lembaga yang berwenang menangani kasus yaitu Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan DPR nampak seperti para pemain sirkus yang sedang bermain bola api. Mereka saling melempar tanggung jawab dengan menyalahkan satu sama lain, atau merasa tidak punya wewenang. Para pemain sirkus ini tidak menyadari bahwa para korban tengah menunggu permainan berakhir, karena nasib mereka ditentukan di sana .

Kalau dikaji secara mendalam, Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya dari Undang Undang tentang Pengadilan HAM ini memang menjadi salah satu sumber masalah. Masing-masing pihak memiliki tafsir yang berbeda. Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikannya, tetapi Jaksa Agung menyatakan belum lengkap. Kalaupun sudah lengkap, Jaksa Agung mengatakan mereka butuh Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk dulu oleh presiden atas rekomendasi DPR, baru bisa melakukan penyidikan.

Sementara DPR yang berhak merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc merasa perlu menunggu hasil penyidikan Jaksa Agung karena tanpa itu DPR tidak bisa merekomendasikan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.

Dari sini, lama kelamaan proses penanganan kasus ini menjadi mirip lingkaran setan, layaknya perdebatan mana yang lebih dulu, apakah ayam atau telurnya. Dalam situasi seperti ini, lagi, korban dan keluarga korban adalah mereka yang dikorbankan untuk yang kesekian kalinya. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemulihan (reparation), keadilan (justice) dan kebenaran (truth). Karena pada dasarnya keadilan yang ditunda-tunda, adalah pengingkaran atas keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied)

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa DPR harus mendasarkan putusan ada tidaknya pelanggaran berat HAM pada hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung adalah sesuatu yang positif bagi penegakan HAM. Putusan ini adalah salah satu jawaban atas kebuntuan dan pemutus lingkaran setan penanganan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Ia menjadi penegas bahwa Jaksa Agung tidak perlu lagi menunggu putusan DPR dan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. DPR juga tidak perlu repot membentuk Panitia Khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran berat HAM, karena ia bukan lembaga penyelidik. DPR hanya perlu merekomendasikan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc bila penyelidikan Komnas HAM dan Penyidikan Jaksa Agung menyimpulkan telah terjadinya dugaan pelanggaran berat HAM atas locus dan tempus delicti tertentu.

Bola Ada di Jaksa Agung
Pernyataan Kejaksaan Agung bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki konsekuensi bagi penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM adalah pernyataan yang sangat patut disesalkan. Sebagai salah satu mata rantai criminal justice system yang sangat menentukan, Jaksa Agung harus patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi. Ia harus segera melakukan penyidikan atas kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997/1998.

Argumen Jaksa Agung terlalu mengada-ada , ketika ia mensyaratkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dulu supaya bisa melakukan penggeledahan dan pemanggilan paksa sebagai bagian dari proses penyidikan.

Argumen ini tidak mencerminkan kearifan Jaksa Agung karena didasarkan pada prasangka-prasangka negatif bahwa pihak-pihak yang akan disidik pasti akan melakukan perlawanan. Padahal beberapa hari terakhir kita melihat perkembangan positif ketika mantan Pangkopkamtib Sudomo sangat kooperatif ketika diperiksa Tim Penyelidik Ad Hoc Komnas HAM untuk kasus Talangsari Lampung 1989. Penyidikan juga bisa dimulai dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tingkat kesulitan dan halangannya minim.

Hal penting dari seluruh proses ini adalah keberanian, ketulusan dan niat politik Jaksa Agung untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan, tidak hanya bagi korban dan keluarga korban, tapi bahkan bagi mereka yang diduga terlibat atau bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang tengah ditangani.

Pintu telah dibuka oleh putusan Mahkamah Konstitusi bagi Jaksa Agung untuk memajukan proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Dari situ Jaksa Agung akan bisa memberi kesempatan bagi korban dan keluarga korban untuk meraih kebenaran, keadilan dan pemulihan sebagai syarat melanjutkan kehidupan yang bermartabat.


Dari pintu yang sama, Jaksa Agung juga akan memberikan kesempatan bagi mereka yang diduga sebagai pelaku untuk membela diri dari berbagai hujatan masyarakat. Selanjutnya, sejarahlah yang akan mencatat dan memberikan penilaian atas apa yang telah terjadi dalam sejarah pembangunan bangsa ini.

Ya, bola itu ada di gedung bundar Kejaksaan Agung. [end]

*) Penulis adalah Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia - IKOHI

Thursday, March 13, 2008

Refleksi 10 Tahun Penculikan Mugiyanto




Kami Tidak Akan Pernah Lupa
Mugiyanto[1]



Tepat pada hari ini sepuluh tahun yang lalu, pada tanggal 13 Maret 1998, beberapa gerombolan aparat koersif Orde Baru menyelinap dari kampung ke kampung di kawasan padat penduduk Jakarta. Mereka hendak menangkap orang-orang “berbahaya” yang menurut pimpinan mereka akan bisa menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah Suharto. Mereka sedang mencari Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto dan Petrus Bima Anugerah. Empat orang yang mereka yakini tinggal di tempat yang sama.

Sehari sebelumnya, pada tanggal 12 Maret 1998, salah satu dari gerombolan itu berhasil menjalankan misinya. Gerombolan itu berhasil menculik 3 orang “berbahaya”. Mereka adalah Faisol Riza, Raharja Waluya Jati dan Herman Hendrawan. Ketiganya adalah pimpinan bawah tanah organisasi terlarang waktu itu, Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Riza, Jati dan Herman diculik ketika mereka sedang mencari makan siang di sepanjang Jalan Diponegoro. Riza dan Jati diculik di sekitar RSCM. Sementara Herman diyakini diculik di seputar kompleks Megaria.

Setelah disekap, diinterogasi dan disksa selama hampir sebulan di suatu tempat misterius, Riza dan Jati lalu dipulangkan ke rumah masing-masing. Tetapi, Herman tidak diperlakukan sama. Sampai hari in, Herman tidak pernah pulang ke Bangka. Bahkan ketika ayah tercintanya meninggal 5 tahun lalu.

Jumat, 13 Maret 1998, pukul 18.30 adalah hari naas bagi saya. Begitu masuk rumah kontrakan yang baru kami tempati selama seminggu, saya menemui beberapa kejanggalan. Nezar dan Aan harusnya ada dirumah itu, karena 20 menit sebelumnya saya meneleponnya untuk menunggu dan mereka mengatakan “ya”. Tetapi mereka berdua tidak ada. Mereka hanya meninggalkan segelas air jeruk yang masih panas. Mereka pasti sedang keluar sebentar, pikir saya waktu itu.

Saya juga sempat mengirim pesan lewat pager yang dipegang Nezar. “Nez, kamu di mana? Aku tungu di rumah ya”. Begitu bunyi pesan yang saya sampaikan lewat operator. Pesan itu saya sampaikan 2 kali, setelah yang pertama tidak mendapat respon. Sekitar 5 menit kemudian pikiran saya jadi macam-macam. Memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Maklum, saat itu kami memang sedang dalam masa perburuan. Kami dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Sebuah peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak, yang menyebabkan ratusan orang meninggal dan hilang.

Lalu ada 2 orang kawan yang menelepon ke rumah. Mereka berdua panik, salah satunya menangis sambil meninggalkan pesan, “kalian hati-hati, jangan ada yang tertangkap lagi”. Bukannya membesarkan hati, pesan itu justru menguatkan bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang mengancam diri saya. Lalu saya membayangkan puluhan kawan-kawan PRD yang sedang dipenjara saat itu, Budiman Sudjatmiko, Dita Sari, Petrus Harianto dan lain-lain.

Ternyata benar. Saya mendekati jendela rumah kontrakan lantai 2 itu. Saya menyibakkan gorden untuk mengintip keluar. Badan saya lemas, dibawah sana sudah berjejer orang-orang berbadan tegap menatap saya. Dari jendela yang lain, saya melihat hal yang sama. Lalu saya berjingkat jalan ke dapur, memikirkan loncat ke bawah dan melarikan diri. Tetapi di bawah sana, ada berjajar puluhan orang yang lain. Rumah kontrakan saya sudah dikepung. Badan saya melemas. Saya sudah membayangkan kematian.

Lalu dengan tenaga tersisa, saya raih saklar untuk mematikan lampu. Persis pada saat itulah mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!”. Kunci pintu kubuka, lalu sekitar 10 orang masuk. Satu dari mereka adalah orang tua berpeci seperti perangkat kelurahan. Ia Sangat sopan dan menenangkan, “Mas, ikuti bapak-bapak ini saja ya”. Dua orang berpakaian tentara dinas lapangan. Selebihnya berpakaian preman.

Setelah mengacak-acak rumah, 3 menit kemudian saya dibawa turun. Lalu dinaikkan kendaraan yang tengah menunggu untuk dibawa ke statu tempat yang ternyata adalah Koramil Duren Sawit Jakarta Timur. Setengah jam diinterogasi, lalu “kami” dibawa ke Kodim Jakarta Timur. “Kami” karena sejak dari Koramil itu, saya punya “teman” yang juga ditangkap, namanya “Jaka”. Paling tidak begitulah ia memperkenalkan diri di hadapan saya dan interogator Koramil.

Terakhir ketahuan, Jaka adalah perwira Kopassus, salah satu anggota Tim Mawar yang ditugaskan untuk memastikan bahwa saya tidak jatuh ke tangan kesatuan lain. Setelah mampir 3 menit di Kodim Jakarta Timur, saya dinaikkan kendaraan lagi. Kali ini dengan mata ditutup. Dan dari sinilah, prosesi interogasi dan penyiksaan khas serdadu didikan Amerika dimulai.

Dari tanggal 13 Maret malam hari sampai 15 Maret sore hari saya disekap, diinterogasi dan disiksa. Mata ditutup, dua tangan dan dua kaki diikat di tempat tidur velbed. Hanya memakai celana dalam. Di sana ada suara sirine yang meraung-raung, suhu ruangan yang sangat dingin, dan alat setrum listrik yang bunyinya seperti cambuk. Ada juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa. Sungguh biadab para penculik ini. Mereka memperdengarkan Nezar Patria dan Aan Rusdianto yang sedang mereka siksa di dekat saya. Dari situlah saya sadar bahwa sebelum saya ditangkap, Nezar dan Aan sudah duluan mereka culik. Pesan pager saya untuk Nezar diterima para penculik yang zalim itu.

Dua hari berada di Guantánamo Indonesia, yang akhirnya kami ketahui sebagai markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timar, akhirnya kami dipindahtangankan ke Polda Metrojaya, Jakarta. Bersama Nezar dan Aan saya lalu ditahan di Rutan Polda sampai akhirnya ditangguhkan penahanannya pada tanggal 6 Juni 1998. Kami dikeluarkan dari penjara karena Presiden Habibie mencabut UU Anti Subversi, yang pada waktu itu dijadikan dasar alasan penahanan kami.

(kesaksian kronologis sudah saya keluarkan 8 Juni 1998 dan bisa didownload di www.ikohi.blogspot.com)

Saya menuliskan lagi cerita ini dengan jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit. Saya tidak bisa melupakannya. Saya hanya bisa mengelolanya dan menyimpan memori ini untuk dijadikan energi hidup yang positif. Terutama karena “kesalahan” masa lalu saya adalah karena melawan kediktatoran. Suatu “kesalahan” yang sampai detik ini saya anggap kebenaran. Saya bangga karena masa lalu saya ini. Juga karena saat ini saya tengah berada bersama mereka yang menjadi saksi dan martir atas 3 dekade lebih masa kediktatoran. (Semoga stockholm syndrom selalu jauh dari hidup saya).

Kini, 10 tahun peristiwa tersebut sudah terjadi. IKOHI, tempat saat ini saya beraktifitas untuk menjalankan, mengisi dan melanjutkan hidup, bersama ratusan dan ribuan orang yang senasib, kini masih membangun solidaritas, kerjasama dan kekuatan.

Tapi kami sadar, bahwa hanya dengan dukungan masyarakat luas kami akan bisa menjadikan penghilangan paksa, penculikan orang sebagai masa lalu, sebagai sejarah. “Make disappearance a history” Begitu slogan kita di gerakan internasional melawan penghilangan paksa. Menjadikan praktik menculik, menghilangkan orang sebagai praktik terlarang, karena ia identik dengan Hitler/Nazi, Pinochet, Videla/Junta, Suharto/ORBA dan sebagainya. Ia menjadi ukuran peradaban sebuah bangsa. Dan untuk menuju ke sana, yang pertama-tama yang harus dilakukan adalah dengan menyelesaikan apa yang telah terjadi.

***

Pada periode 1997/1998, 23 orang kami catat telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan perculiknya (Mugiyanto salah satunya) dan 13 lainnya masih hilang hinggá hari ini. Kasus tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan diserahkan ke Jaksa Agung 2 tahun lalu. Kini Jaksa Agung harus segera melakukan penyidikan, terutama karena Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Pebruari 2008 menyatakan demikian.

Kasus inilah yang harus segera diselesaikan, bukan karena ini satu-satunya kasus penghilangan paksa, atau sebagai kasus yang paling besar, tapi semata karena kasus penghilangan paksa 1997/1998 ini proses hukumnya sudah cukup maju, sudah di pintu masuk pengadilan HAM. Baru dari sana kita akan melihat bagaimana kasus penghilangan paksa yang terjadi paska 30 September 1965, DOM Aceh dan Papua, Pembunuhan Misterius (Petrus) dll akan dipertanggungjawabkan oleh negara.

Penting juga diperhatikan bahwa kasus penghilangan paksa (enforced disappearances) punya karakter yang unik dan spesifik. Penyiksaan (torture) sering disebut sebagai ibu dari pelanggaran HAM, karena hampir semua tindak pelanggaran berat HAM mengandung unsur penyiksaan. Tetapi penghilangan paksa adalah muara dari pelanggaran berat HAM. Artinya penghilangan paksa mengandung unsur-unsur pelanggaran berat HAM lainnya seperti penyiksaan, penahanan, bahkan sampai pembunuhan.

Penghilangan paksa juga spesifik karena keluarga yang ditinggalkan terus menerus berada dalam ketidakpastian, mengenai nasib dari orang yang dihilangkan tersebut. Situasi ketidakpastian ini sendiri adalah bentuk penyiksaan tersendiri. Karena dampak lanjutan bagi keluarga inilah mekanisme PBB (UNWGEID) kemudian mensyaratkan adanya urgent dan prompt action, langkah darurat dari negara untuk segera turun tangan begitu kasus penghilangan paksa terjadi. Di Indonesia, kami perlu menunggu 10 tahun, bahkan mungkin lebih. Jutaan keluarga korban yang lain pada kasus 1965, perlu menunggu lebih dari 40 tahun.

Keluarga korban penghilangan paksa juga menghadapi kesulitan-kesulitan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Stigmatisasi sebagai separatis, komunis, pemberontak, fundamentalis adalah fenomena harian.Stigma ini ini kemudian berlanjut pada diskriminasi dan isolasi tidak hanya secara sosial oleh masyarakat tapi juga yang struktural oleh negara, melalui kebijakan-kebijakan yang ada.

Suatu hari, anak seorang korban penghilangan paksa menghadapi masalah di sekolah. Fajar Merah ditanya oleh gurunya mengapa ia mengisi kolom nama ayah dengan nama ibunya, Dyah Sujirah. Fajar menjelaskan bahwa ia tidak mengenal bapaknya. Ibunyalah yang membesarkan dia selama ini. Ibunyalah yang selama ini menjadi ayah bagi dia. Dia sendiri tidak tahu apa bapaknya masih ada atau tidak, karena ibunya juga tidak tahu. Ia tahu bahwa ayahnya adalah Wiji Thukul, tapi ia tidak mengenalnya dengan dekat karena dipisahkan kediktatoran, setelah pertemuan terakhir bulan Desember 1997, ketika Fajar ulang tahun yang ke-3. Thukul mengabadikan momen ulang tahun Fajar waktu itu dengan sebuah handycam. Tidak ada yang tahu, apakah Thukul kini sedang memutar video rekaman ulang tahun anaknya itu.

Keluarga Suyat (korban penghilangan paksa yang lain) di Gemolong, Sragen, punya cerita tentang sebuah pengharapan. Sejak Suyat diculik awal 1998, keluarga berharap ia segera bisa dikembalikan para penculiknya, seperti yang lain. Mereka sudah mempersiapkan seekor kambing yang akan dipotong bila harapan indah itu terjadi. Tetapi tahun demi tahun, harapan itu tidak datang juga dan kambing semakin dimakan usia. Hingga akhirnya, karena masalah ekonomi, kambing yang disiapkan itu terjual juga. Tetapi toh harapan itu tetap ada. Dan kambing yang siap dipotong bisa datang dari mana saja.

Menunggu adalah sesuatu yang sangat membosankan. Menunggu kepastian adalah pelipatgandaan atas situasi yang sangat membosankan. Karenanya ia menjadi sesuatu yang sangat meresahkan, membuat putus asa. Menunggu kepastian bisa menjadi menunggu dalam ketidakpastian. Terlebih lagi ketika rentang waktu menunggu terus diulur. Ia menjadi sesuatu yang bisa membunuh, mematikan.

IKOHI mencatat, dari keluarga yang dihilangkan pada periode 1997/1998 tersebut, 4 orang tua korban telah meninggal. Mereka adalah ayahanda Yadin Muhidin, ayahanda Herman Hendrawan, ayahanda Noval Alkatiri. Mereka semua telah berpulang karena sakit, karena dibunuh ketidakpastian. Mereka meninggal ketika orang-orang yang mereka sayangi belum lagi pulang memeluk mereka. Beberapa orang tua yang lain juga mengalami sakit, yang estela diidentifikasi oleh dokter dikarenakan oleh tekanan mental yang mereka alami. Mereka terkena psikosomatis, dengan penyakit yang beragam. Masih ada puluhan, ratusan atau bahkan ribuan korban dan keluarga korban lain yang kini mengalami hal serupa.

Banyak sekali masalah-masalah riil yang dihadapi keluarga korban dalam kehidupan sehari-hari sebagai dampak dari hilangnya orang-orang yang mereka cintai. Masalah-masalah tersebut membutuhkan negara untuk menanganinya. Secara hukum, kasus harus diselidiki, disidik dan mereka yang bertanggung jawab di tuntut di pengadilan dan dihukum secara adil. Sementara korban dan keluarga korban harus mendapatkan hak-hak pemulihan. Suatu bentuk pemulihan yang dilakukan oleh negara untuk menjadikan korban dan keluarga korban berada dalam kondisi seperti ketika peristiwa belum terjadi.

Keluarga korban harus mendapatkan jawaban lengkap dari negara atas pertanyaan agung,
“Dimana keberadaan orang-orang yang kami cintai?”
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kami siap menerima jawaban seburuk apapun”.
“Kalau mereka sudah meninggal, dimana mereka dikuburkan?”

Mereka juga akan meminta,
“Kembalikan mereka dalam keadaan seperti ketika kalian mengambil mereka!”

Kepada saya, Parveena Ahangar, seorang ibu yang anaknya diculik tentara India di Kashmir, India berbagi cerita.

“Suatu saat saya diminta bertemu dengan seorang perwira militer India yang membawahi kota Srinagar dimana anak saya diculik. Dalam pertemuan yang disaksikan oleh beberapa keluarga korban yang lain, perwira itu berkata, “Ibu, sudahlah, jangan ungkit-ungkit peristiwa itu lagi. Tidak mungkin kita mengembalikan anak Ibu yang hilang. Ini kami berikan santunan 100 ribu dollar (sekitar 920 juta rupiah) supaya ibu bisa melupakan peristiwa tersebut, dan Ibu bisa hidup kembali dengan normal…” Lalu saya bilang ke perwira itu, “Bapak, bagaimana kalau sekarang saya kasih Bapak uang dua kali lipat dari yang Bapak berikan lepada saya, lalu saya bunuh anak Bapak!“

Parveena menangis karena menahan amarah ketika bercerita kepada saya hampir 3 tahun lalu. Kini ia memimpin organisasi keluarga korban penghilangan paksa di Kashmir, India.

Sebagai penutup refleksi ini, kemarin, dalam obrolan di fasilitas yahoo messenger, seorang kawan menulis,

“Satu Suharto mati, muncul ribuan Suharto yang lain. Tapi satu kawan yang berjuang hilang, susah betul mendapat gantinya”. Wilson benar, karena memang, ribuan Suharto bisa dihentikan oleh satu kawan yang berjuang.

Ada kutipan lain yang baru-baru ini saya temukan kembali. Kutipan ini ada di pidato pembelaan, atau pledoi Budiman Sudjatmiko, waktu itu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik yang tahun 1997 diadili oleh pengadilan Orde Baru. Disitu ia menuliskan,

“Aku menjadi saksi atas penderitaan rakyatku yang tengah berjuang, dan akan kubawa kesaksian itu sampai ke pembebasannya”. Saya merinding mendengar kalimat itu. Karena sampai hari ini, rakyat belum juga terbebaskan. Demikian juga 13 korban penghilangan paksa yang lain termasuk Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat, Petrus Bimo Anugerah, dan Yani Afri.

Suyatno, kakak Suyat, orang desa yang kesehariannya menjadi tukang kayu nun jauh di sana di Gemolong, Sragen selalu mengatakan, “Kalau tidak karena Suyat, tidak mungkin Gusdur, Mega dan SBY menjadi presiden”.

Ketika pamit kepada Sipon istri tercintanya, Wiji Thukul mengatakan, “Pon, aku balik ke Jakarta karena kawan-kawan pada dipenjara”.

Hmmmmm….. (menarik nafas)
Sudah 10 tahun peristiwa itu terjadi. Ketika melihat anak saya, dan anak teman-teman saya yang tengah bermain, saya merasakan waktu begitu cepat berjalan. Tetapi ketika melihat poster korban penghilangan paksa yang dipajang di kantor IKOHI, dan wajah keluarga dari mereka yang masih hilang, Mami, Bu Nung, Mbak Pon, Pak Tomo, Bu Tomo, Bu Fatah, Bu Paniyem, Pak Paimin, Bu Zuniar, saya merasakan berjalannya rentang waktu penyiksaan yang teramat amat lama.

Yang jelas, kami tidak akan pernah lupa. Bahwa dalam rentang sejarah bangsa ini, kami adalah para saksi atas kekejaman mesin penindasan pemerintahan Orde Baru. Dan kami memiliki hak konstitusional untuk menuntut apa yang memang menjadi hak kami. Kebenaran, keadilan dan perdamaian. Bahkan sampai ke liang lahat. (dimuat di VHR Media: http://www.vhrmedia.net/)

[1] Penyintas penculikan aktifis 1998, Ketua IKOHI dan AFAD

Wednesday, March 12, 2008

HASIL PERTEMUAN IKOHI-KORBAN DAN KOMNAS HAM 11 MARET 2008

cuplikan acknowledgment letter dari UNWGEID terhadap laporan
kasus orang hilang yang diserahkan IKOHI pada September 2007



Pada tanggal 11 Maret 2008 pukul 14.00 WIB, IKOHI beserta korban dan keluarga korban pelanggaran HAM melakukan audiensi dengan Komnas HAM.
Audiensi kali ini membahas mengenai laporan Pokja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID - United Nations Working group on Enforced or Involuntary Disappearances) yang telah dikirimkan ke pemerintah Indonesia pada tanggal 10 Januari 2008. Audiensi ini juga dilakukan dalam rangka 10 tahun terjadinya kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi 1997/1998.

IKOHI dan keluarga korban diterima oleh Johny Neslon Simanjuntak (Komisioner Komnas HAM bidang Pemantauan). Laporan UNWGEID sendiri menyorot secara khusus mengenai kasus penghilangan paksa di Toyado-Sulawesi Tengah dan pada peristiwa 1965. Ada 5 orang yang dilaporkan sampai kini masih hilang, yaitu Iwan Ronti, Hasyim Toana, dan Aswat Lamarati (kasus penghilangan paksa di Toyado, Sulawesi Tengah) serta Rohadi Iwan Hadi Subroto dan Makdum Budi Martono (kasus penghilangan paksa dari peristiwa 1965).

Dalam audiensi ini, IKOHI beserta korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menyatakan bahwa Komnas HAM harus mendesak pemerintah untuk kooperatif dengan Pokja PBB (UNWGEID) dengan langkah melakukan pencarian terhadap 5 orang yang dilaporkan oleh pokja PBB tersebut. Lalu pemerintah dan DPR harus segera menepati janjinya dengan melakukan penandatangan dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Kemudian Presiden harus memerintahkan Jaksa Agung mematuhi keputusan MK dengan segera melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebenarnya kasus Toyado sudah pernah dilaporkan ke Komnas HAM. Dan kasus ini sendiripun telah masuk ke persidangan militer. Ada 15 anggota TNI yang telah diadili dan dihukum oleh Mahkamah Militer. Namun tindak lanjut dari Mahkamah Militer untuk mengetahui dan mencari keberadaan orang hilang di kasus tersebut tidak ada sama sekali.

Johny Simanjuntak, yang mewakili Komnas HAM menyatakan pada prinsipnya Komnas HAM sangat setuju dengan pernyataan IKOHI dan korban pelanggaran HAM. Maka dari itu, dalam agenda pertemuan dengan Markas Besar TNI minggu depan, Komnas HAM berjanji untuk menanyakan keberadaan orang-orang yang hilang di kasus tersebut pada petinggi militer.
Selain itu, Komnas HAM sepakat dengan pernyataan IKOHI yang mengatakan bahwa kasus Toyado belum selesai, walaupun para pelaku sudah dihukum. Karena dengan belum ditemukannya orang-orang yang hilang, maka kasus penghilangan paksa masih dianggap masih berlangsung. Kemudian seharusnya kasus Toyado ini ditangani oleh Pengadilan HAM, bukan Mahkamah Militer, karena merupakan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah diatur dalam UU No 26/2000.

Untuk desakan kepada pemerintah mengenai Konvensi Anti Penghilangan Paksa, Komnas HAM berjanji akan segera mengirimkan surat opininya kepada Depkumham dan Deplu. Surat opini Komnas HAM tersebut salah satunya akan berisi mengenai pentingya Indonesia untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Untuk memastikan bahwa Komnas HAM melakukan tindak lanjut dari pertemuan tersebut, IKOHI akan bertemu lagi dengan Komnas HAM dua minggu lagi.

Demikian rangkuman pertemuan IKOHI dengan Komnas HAM pada hari ini.
Bahan lain berupa pernyataan pers IKOHI akan dilampirkan di email ini.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Mugiyanto, Ketua IKOHI di 081399825960 dan email: kembalikan@yahoo.com atau mugiyanto@gmail.com

Dept. Kampanye dan Pembelaan Korban IKOHI
Ari Yurino (08567931713)

PERNYATAAN SIKAP IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA (IKOHI)


Ungkap Tuntas Kasus Penghilangan Paksa!!!

Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa!!!


Pada Bulan Maret 2008 ini, kami memperingati 10 tahun terjadinya kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi. Kami mencatat adanya 23 orang yang dihilangkan secara paksa pada periode 1997/1998. Sampai hari ini, 13 diantara mereka masih dalam status hilang.

Pada bulan ini pula, mulai 3 sampai 28 Maret 2008, Dewan HAM PBB sedang mengadakan Sidang yang ke 7. Pada pekan ini, isu penghilangan orang secara paksa akan dibicarakan secara khusus.

Pada kesempatan yang sangat istimewa ini, IKOHI yang merupakan organisasi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM secara umum merasa perlu menyampaikan beberapa hal penting.

  1. Dalam laporan Pokja PBB untuk Penghilangan Paksa (UNWGEID) yang dikeluarkan tanggal 10 Januari 2008 dan akan dilaporkan dalam Sidang Dewan HAM PBB disebutkan bahwa dalam tahun 2007 mereka menerima laporan adanya 5 kasus penghilangan paksa dari Indonesia. Lima kasus tersebut adalah 3 dari kasus Toyado, Sulawesi Tengah atas nama Iwan Ronti, Hasyim Toana, dan Aswat Lamarati, dan 2 kasus Tragedi 65 atas nama Rohadi Iwan Hadi Subroto dan Makdum Budi Martono. Lima kasus tersebut sudah disampaikan oleh Pokja PBB ke pemerintah Indonesia untuk diklarifikasi. Dan sampai tanggal 10 Januari 2008, pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan maupun klarifikasi. Pemerintah Indonesia juga tidak segera menanggapi permintaan Pokja PBB untuk melakukan kunjungan resmi ke Indonesia, padahal permintaan tersebut sudah disampaikan sejak 2 tahun lalu.
  2. Sebagai anggota PBB dan Dewan HAM PBB, Indonesia pada tanggal 12 maret 2007 pada High Level Segment, melalui pidato Menkumham ketika itu, Hamid Awaluddin mengatakan akan segera menandatangani Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa). Beberapa kali saat IKOHI beraudiensi dengan Deplu dan Depkumham, mereka juga menjanjikan hal yang sama. Akan tetapi, sampai saat ini Konvensi tersebut belum juga ditandatangani, apalagi di ratifikasi.
  3. Sebagai upaya pencegahan keberulangan, menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan, IKOHI berharap agar kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997/1998 yang berkasnya ada di Jaksa Agung untuk segera disidik. Terlebih lagi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan demikian dalam putusannya 21 Pebruari 2008 yang menyatakan bahwa rekomendasi politik dari DPR memerlukan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi terkait. Artinya Kejaksaan Agung harus melakukan penyidikan terlebih dahulu terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, sebelum diajukan ke DPR.

Atas tiga hal diatas, kami mendesak KOMNAS HAM sebagai lembaga nasional yang independen yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Meminta pemerintah Indonesia (c.q. Presiden RI) untuk kooperatif dengan Pokja PBB untuk Penghilangan Paksa dengan melakukan pencarian 5 orang hilang yang disebutkan di atas. Pemerintah juga harus segera memberikan jawaban atas permintaan Pokja PBB melakukan kunjungannya ke Indonesia untuk menjalankan mandatnya.
  2. Meminta pemerintah dan DPR untuk segera memenuhi janjinya dengan melakukan penandatanganan dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai wujud komitmen Indonesia menegakkan dan melindungi HAM (non-derogable rights).
  3. Meminta Presiden untuk memerintahkan Jaksa Agung mematuhi Putusan MK tanggal 21 Februari 2008 dengan segera melakukan penyidikan kasus penghilangan paksa aktifis pro demokrasi tahun 1997/1998.


Pada hari ini, komunitas korban Toyado dan jaringan aktifis HAM di Sulawesi Tengah juga melakukan audiensi ke Komda HAM Sulteng untuk menyampaikan hal yang sama. Dan organisasi korban pelanggaran HAM di Sulawesi Tengah (Solidaritas Korban Pelanggaran HAM-SKPHAM Sulawesi Tengah) merupakan organisasi korban di daerah yang berafiliasi ke IKOHI.

Jakarta, 11 Maret 2008

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia

Ketua IKOHI

Mugiyanto

Sekretaris SKPHAM Sulawesi Tengah

Nurlela

Tuesday, March 04, 2008

Kumpul Bocah IKOHI

Kumpul Bocah IKOHI
Video sent by ophaquwe

On March 1st 2008, IKOHI holds an activity titled "Introduction to Human Rights for Children of Victims of Human Rights Violations" in Pendopo Taman Satwa Ragunan, Jakarta Selatan, Indonesia.

Pengenalan HAM untuk Anak Korban (4)


Pengenalan HAM
Tak Mudah Menghapus Trauma Kekerasan

Selasa, 4 Maret 2008 | 02:19 WIB

Habibie (11) dan Azam (8) sedang asyik membaca tulisan di karton yang dijepit di tali yang digantung di pinggir pendapa Taman Satwa Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.

Hari itu hari Sabtu, 1 Maret 2008. Tidak biasanya Habibie dan adiknya, Azam, bisa bermain-main jauh dari rumah mereka di bilangan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tetapi kali itu mereka bahkan diantar oleh ibu mereka, Sri Aisyah (40), ke Kebun Binatang Ragunan itu.

Bukan untuk melihat koleksi hewan di sana, melainkan belajar hak asasi manusia (HAM). Acara tersebut diadakan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan diikuti sekitar 70 anak-anak korban kekerasan atau korban hilang. Entah ayahnya, ibunya, kakek-nenek, kakak-adiknya yang hilang pada beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Anak-anak tersebut dari usia 2 tahun hingga 12 tahun.

Yang masih di bawah usia lima tahun diajak bermain-main, yang sudah besar disuguhkan pemahaman tentang HAM.

Jadilah mereka membaca dan berusaha memahami apa yang dimaksud dengan HAM itu? Di lembar karton tersebut tertulis dengan spidol: HAM adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir yang tidak boleh dilanggar, dibatasi, ataupun dikurangi oleh siapa pun.

Mereka jadi mengerti bahwa mereka memiliki hak untuk hidup, untuk tumbuh kembang, untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, kebebasan beragama dan beribadah, hak untuk bermain, bebas dari kekerasan, bebas untuk bergerak, dan bebas untuk berorganisasi.

Apakah mereka bisa memahaminya? ”Justru sejak kecil mereka harus kita ajarkan tentang HAM,” kata Sri Aisyah yang suaminya, Yudi Wahyudi (44), saat kasus Tanjung Priok 1984 tertembak kakinya dan dipenjara selama 1,5 tahun.

Memahami trauma

Begitu keluar dari penjara, ternyata Yudi mengalami gangguan psikis dan trauma berat. Ia lebih banyak berdiam diri, tidak berkomunikasi, dan tidak bisa bekerja. Terpaksa Sri Aisyah berjualan gado-gado dan kue-kue untuk menghidupi keenam anaknya. Kini ia mendirikan sekolah untuk komunitas anak-anak jalanan di Terminal Tanjung Priok.

”Anak saya yang pertama, Atia, jadi korban. Melihat ayahnya seperti itu, dia jadi anak pendiam dan tertutup,” kata Sri Aisyah.

Melalui pengenalan HAM ini, menurut Sri Aisyah, ”Anak-anak saya jadi bisa mengerti kenapa ayah mereka seperti itu, tidak seperti ayah anak-anak lain. Kenapa ayah mereka tidak bekerja, karena ayahnya adalah korban kekerasan negara.”

Menurut Sinnal, Sekretaris Umum IKOHI, cara mudah memberikan pemahaman tentang HAM, anak-anak itu disodori foto-foto kliping koran dan diminta menyebutkan itu foto apa. Mereka menyebut, itu ayah atau ibu mereka yang sedang berdemonstrasi.

”Mengapa mereka berdemonstrasi?” Tidak ada yang menjawab. Akhirnya Ruminah, salah seorang korban, maju dan memaparkan bahwa ia berdemonstrasi karena anaknya yang bernama Gunawan (saat itu kelas VI SD) hilang saat kerusuhan Mei 1998 di bilangan Klender, Jakarta Timur.

Marulloh yang merupakan korban Tanjung Priok mengatakan, ia berdemonstrasi karena dulu ia dipenjara tanpa ada proses pengadilan. Melalui sharing itu anak-anak tahu alasan orangtua mereka berdemonstrasi.

Elsa Aulia Rizky (11) yang kakeknya hilang pada kasus Tanjung Priok mengaku jadi makin tahu soal HAM. ”Saya jadi ngerti apa itu HAM.” (LOK)

Pengenalan HAM untuk Anak Korban (3)

HAM untuk Anak

3 Maret 2008 - 11:36 WIB



Kamilah ini anak merdeka

Tak berpunya tapi merasa kaya

Semua di dunia milik semua

Tuk dibagi sama rata sama suka

Suara riang anak-anak mendendangkan Anak Merdeka, Aku Anak Indonesia, serta Roti Matahari yang dipopulerkan Yayak Iskra sejak tahun 1980-an. Kegembiraan bocah-bocah itu menyemarakkan Taman Satwa Ragunan, Sabtu 1 Maret lalu. Pada acara "Pengenalan HAM untuk Anak-anak Korban" yang digelar Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) ini seratusan anak belajar tentang hak asasi manusia, bermain, bernyanyi, dan bersuka bersama-sama.

Kubawa-bawa matahariku

Kubagi-bagi layaknya roti

Semua mendapatkannya

Semua suka

Bersama-sama

Foto: VHRmedia.com/Arwani


sumber: Voice of Human Rights (VHR)

Sunday, March 02, 2008

Pengenalan HAM untuk Anak Korban (2)

Elsa, Aktivis HAM Cilik
Sabtu, 01 Maret 2008, 22.10 WIB

(Klik di sini untuk lihat video di KOMPAS TV)


Secara tidak langsung, anak-anak korban pelanggaran HAM yang hadir dalam acara tersebut sudah sering mendengar isu pelanggaran HAM melalui orang tua mereka yang sering mengadakan aksi.

Ketika Kompas TV bertanya lebih jauh seputar HAM, Elsa, bocah kelas 6 SD, anak korban kasus pelanggaran hak asasi, dengan fasihnya menjelaskan adanya pelanggaran HAM pada kasus Tanjung Priok beberapa tahun lalu.

Lain Elsa, lain pula dengan Gilang dan David. Meski sudah mendapat pelajaran singkat dari para aktivis IKOHI, mereka belum juga memahami arti HAM.

Mendengar pendapat anak-anak ini, kita bisa memahami, betapa pentingnya HAM dipelajari oleh anak-anak sejak dini. Karena ketika menginjak dewasa, bukan tak mungkin mereka akan bersentuhan dengan isu seputar HAM.

| Reporter:Budhi | Kamerawan:Budhi | Penulis:Budhi | Editor Video:Yuan |

Pengenalan HAM untuk Anak Korban (1)

Pengenalan HAM Kepada Anak
Minggu, 02 Maret 2008, 01.07 WIB

(Klik di sini untuk lihat video di KOMPAS TV)



Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mengadakan acara pengenalan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada anak-anak di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta, Sabtu siang (1 Maret 2008, ed). Kegiatan ini ditujukan kepada anak-anak korban kerusuhan Mei 1998, orang hilang, penculikan atau korban dari pelanggaran HAM di Indonesia.

Puluhan anak kecil berusia antara 4 -12 tahun diajak untuk mengenal peristiwa yang telah terjadi dan dialami oleh keluarga mereka dengan cara santai dan diselingi permainan. Melalui cerita dan gambar-gambar yang diambil dari majalah, anak-anak terlihat antusias mengikuti acara pengenalan HAM tersebut.

Nyonya Rusminah (Ibu Ruminah, ed), salah satu ibu korban yang puteranya menghilang pada kerusuhan Mei 1998 sangat mendukung acara yang digelar IKOHI ini. Pada acara tersebut Ia berbagi cerita kepada anak-anak perihal pengalaman buruk yang pernah dialaminya. Hingga kini Ia masih berharap puteranya bisa kembali, walau sudah hampir 10 tahun usahanya tak kunjung mendapat titik terang.

| Reporter:Budhi | Kamerawan:Budhi | Penulis:Budhi | Editor Video:Yuan |

Pendidikan HAM Dasar untuk Korban di Papua


Pada tanggal 21 -23 Februari 2008, IKOHI bekerja sama dengan IKOHIK2N menyelenggarakan kegiatan Pendidikan HAM Dasar untuk Korban di P3W, Jayapura, Papua. Pendidikan ini dirancang untuk kebutuhan pengorganisasian korban pelanggaran HAM dalam mengawal proses advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialaminya. Selain melibatkan korban, pendidikan ini juga dihadiri oleh jaringan penggelut HAM di Papua, seperti Foker LSM Papua, ALDP, KontraS Papua, SKP, dll.

Bertindak sebagai narasumber dalam pendidikan ini antara lain adalah: Mugiyanto (IKOHI), Sri Suparyati (KontraS Jakarta), Septer Manufandu (Foker LSM Papua), dan Galuh Wandita (ICTJ).

Selama 3 hari kegiatan, agenda pelatihan tersebut juga disisipi dengan audiensi dengan Komisi F Dewan Perwakilan Rakyat Papua.

Kegiatan ini terselenggara atas bantuan dari Tapol, London.*




NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)