<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Wednesday, September 30, 2009


ORANG HILANG
Ketua DPR Secepatnya Harus Surati PresidenRabu, 30 September 2009 | 03:12 WIB

Jakarta, Kompas - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat harus secepatnya mengirim surat kepada Presiden sebelum masa kerja DPR selesai, Rabu (30/9) ini.

Presiden diminta membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc menyusul rekomendasi DPR yang menuntut pemerintah mencari kejelasan nasib 13 orang yang dinyatakan hilang pada periode 1997-1998.

Tindakan itu harus segera dilakukan karena waktunya tinggal sedikit lagi. Mekanisme kontrolnya nanti bisa dilaksanakan oleh DPR periode mendatang. ”Ketua DPR yang sekarang harus segera menindaklanjuti keputusan paripurna DPR,” kata Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ifdhal Kasim, Selasa.

Ifdhal mengatakan, dia tetap optimistis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan melaksanakan rekomendasi DPR itu. ”Presiden pada periode yang kedua ini saya kira berkesempatan memberikan keadilan kepada masyarakat secara lebih luas dengan juga memberikan perhatian terhadap kasus-kasus HAM,” katanya.

Ifdhal juga berharap Presiden segera merealisasikan rekomendasi itu. ”Ini tergantung komitmen Presiden,” katanya. Ia mengingatkan, saat dialog-dialog calon presiden yang lalu, presiden telah menyatakan punya komitmen politik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.

”Kita bisa menunggu sampai kabinet baru terbentuk tanggal 20 Oktober,” katanya.

Wakil Presiden M Jusuf Kalla secara terpisah mengatakan, meskipun diakui pelaksanaannya di lapangan akan sulit mengingat penghilangan orang secara paksa itu terjadi 12 tahun silam, pemerintahan baru mendatang wajib menjalankan keputusan tersebut.

Menurut Kalla, rekomendasi itu merupakan bentuk itikad baik pemerintah.

Kejaksaan siap sidik

Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan siap melaksanakan penyidikan atas penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. Hal itu dengan catatan, sejauh aturan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dipenuhi.

Hal itu disampaikan Hendarman, Selasa di Kejaksaan Agung. ”Dulu yang kita masalahkan adalah dukungan politik. Apabila dukungan politik ada, selanjutnya ditentukan Presiden melalui keputusan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Kami akan tindak lanjuti,” kata Hendarman.

Dalam Pasal 43 UU No 26/2000 disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut berada di lingkungan peradilan umum.

Berdasarkan catatan Kompas, Komnas HAM pernah menyampaikan hasil penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat dalam penghilangan orang secara paksa. Namun, pada 2 April 2008, kejaksaan mengembalikan berkas itu kepada Komnas HAM disertai catatan, yakni menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.

Tak yakin

Sejumlah kalangan mengaku tidak terlalu yakin rekomendasi panitia khusus bakal ditindaklanjuti secara serius, baik oleh pemerintah maupun legislatif periode 2009-2014.

Keraguan itu, antara lain, disuarakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego, dan komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming.

”Kenapa tidak dari dulu saja DPR menyetujui rekomendasi itu sehingga baik pemerintah maupun DPR punya banyak waktu untuk melaksanakan dan mengawasinya. Kenapa baru sekarang? Kalau prinsipnya syukur-syukur bisa dilaksanakan, ya tentu tidak bisa sesederhana itu,” ujar Indria.

Menurut Indria, legislatif selama ini tidak mengenal prinsip mengoper (carry over) keputusan yang dibuat legislatif periode sebelumnya untuk dilaksanakan legislatif periode berikut. Apalagi, komposisi kekuatan partai politik di DPR mendatang didominasi parpol pendukung pemerintah.

”Saya berani pastikan rekomendasi tidak berlanjut. Apalagi secara teknis sulit mencari kejelasan ke-13 orang hilang itu. Kemungkinan nanti hanya akan ’hangat-hangat tahi ayam’, seolah ditindaklanjuti kalau disorot terus oleh masyarakat sipil. Juga harus diingat, memori kolektif masyarakat kita sangatlah pendek,” ujar Indria.

Penyikapan senada disampaikan Saharuddin yang menilai tidak ada jaminan para anggota DPR periode mendatang akan menindaklanjuti hasil rekomendasi DPR periode sebelumnya.

Belum lagi, lanjutnya, penegakan HAM selama ini masih jauh dari produktif. Hingga sekarang setidaknya ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat, yang telah dituntaskan penyelidikannya oleh Komnas HAM, mentok di tingkat Kejaksaan Agung.

”Kebanyakan kasus pelanggaran HAM berat yang ditindaklanjuti lebih karena pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum, apalagi untuk mencari keadilan. Akibatnya semua upaya dilakukan dengan setengah hati, termasuk juga dalam kasus penghilangan orang secara paksa itu,” ujar Saharuddin.

(EDN/HAR/DWA/IDR)
House urges justice for kidnapped activistsThe Jakarta Post , Jakarta | Tue, 09/29/2009 1:16 PM | National


Parliament has called on President Susilo Bambang Yudhoyono to form a human rights court to try the cases of rights activists kidnapped in 1997.

The House of Representatives also urged Yudhoyono to find out what happened to the 13 kidnapped activists, who remain missing.

Compensation for their families should also be paid, the House went on, while the government should ratify the International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances.

The House made the call Monday, following recommendations by its special committee on the kidnapping cases.

"Attorney General Hendarman Supandji must continue the investigation with the National Commission on Human Rights so that the suspects can be taken to court," said committee chairman Effendi Simbolon. "The court should be established by presidential decree."

After the session, relatives of the missing activists presented Effendi with a white rose "to symbolize their respect for his leadership of the committee," detik.com reported.

Effendi told The Jakarta Post the calls were made after a discussion of the cases with the human rights commission, various human rights NGOs and families of the missing activists.

"The committee didn't make any investigation of its own, but we based our recommendations on the human rights commission's investigation," he said.

He added the committee had tried to summon government officials to confirm facts in the case.

The committee had invited Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo A.S., Indonesian Military Chief Gen. Djoko Santoso, Attorney General Hendarman Supandji, State Intelligence Agency (BIN) chief Syamsir Siregar, Defense Minister Juwono Sudarsono, and Justice and Human Rights Minister Andi Mattalata.

"None of the officials accepted our invitation," Effendi said.

"We sent a letter to the President to urge the officials to come, but he didn't give any clear instructions."

He added the committee had also planned to summon suspects in the kidnapping cases, but had refrained from doing so.

The suspects include failed vice-presidential candidates Wiranto, from the People's Conscience Party (Hanura), and Prabowo Subianto, from the Great Indonesia Movement Party (Gerindra), as well as officers from the Army's Special Forces (Kopassus).

Mugiyanto, chairman of the Indonesian Association of Families of the Disappeared, said the families were satisfied with the House's stance.

"The House has done its part in making recommendations to the government," he said.

"Now we hope the government will act on the recommendations."

He said forming a human rights court was important, since the Attorney General's Office had repeatedly postponed any investigation due to the lack of an ad-hoc court.

Mugiyanto, also kidnapped but latter released in 1997, said finding the activists was the main concern of the families.

"At the very least, the truth about their fate must be unveiled," he said.

"If Indonesia doesn't want to be burdened with past human rights violations, this step must be taken."

Mugiyanto said he hoped Yudhoyono would follow up on the recommendations within the first 100 days after his inauguration. (mrs)

Source: The Jakarta Post, http://www.thejakartapost.com/news/2009/09/29/house-urges-justice-kidnapped-activists.html

Sunday, September 27, 2009

Sidang Paripurna DPR tentang Kasus Penghilangan Paksa 1997-1998


Pada tanggal 15 September 2009, Panitia Khusus (Pansus) DPR RI tentang Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998, mengeluarkan rekomendasi sebagai berikut;

1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
2. Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak–pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang;
3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;
4. Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.

Keempat rekomendasi tersebut merupakan kemajuan positif dalam penanganan kasus, yang selanjutnya kami harapkan dapat diajukan ke rapat paripurna DPR RI, tanggal 28 September 2009.

Kontras dan IKOHI mengingatkan agar upaya DPR RI untuk memantau penanganan kasus – kasus pelanggaran HAM berat tak terkendala pada alat kelengkapannya. Antara alat kelengkapan yang satu dengan yang lain belum menunjukkan keselarasan komitmen dan tindakan sebagaimana yang terjadi dalam rapat Bamus (Badan Musyawarah) tentang usulan Komisi III DPR RI tanggal 7 Maret 2007 yang tak mengajukan rekomendasi Komisi itu ke rapat paripurna secara voting.

Di penghujung masa bhakti DPR RI periode 2004 – 2009, kami menghimbau agar kiranya pimpinan DPR mengupayakan dukungan optimal atas rekomendasi Pansus.

Komitmen bersama secara moral dan politik semua fraksi dan segenap anggota DPR RI sangat dinanti-nantikan oleh para keluarga dari mereka yang hilang agar kelak keadilan sungguh-sungguh dapat ditegakkan. (IKOHI)

Tuesday, September 15, 2009

Nasib Suyat dan DPR


Wakil Rakyat, Lihatlah Derita SuyatSelasa, 15 September 2009 | 03:20 WIB

Oleh Sutta Dharmasaputra

Jarum jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Gelap masih menyelimuti perkampungan. Gemerisik dedaunan yang terkena tiupan angin pun masih jelas terdengar mengisi keheningan. Namun, sepasang kakek nenek sudah bekerja melawan rasa kantuk dan lelah.

Keduanya adalah Tamiyem (60) dan Paimin (65), orangtua Suyat, salah satu aktivis mahasiswa yang diculik aparat militer rezim Orde Baru di tahun 1998. Hingga kini Suyat belum kembali. Entah, masih ada atau sudah tiada.

Setiap dini hari, Tamiyem dan Paimin yang tinggal di Desa Banjarsari, Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, itu harus sudah bangun untuk bersiap-siap berjualan tauge di pasar. Setelah sahur dengan makanan seadanya, keduanya langsung bergegas.

Motor Honda Prima tahun 1991 menjadi andalannya. Paimin memegang kemudi, Tamiyem membonceng. Satu karung besar berisi tauge ditaruh di depan, satu lagi dipangku Tamiyem.

Rata-rata 50 kilogram tauge dibawa ke pasar setiap harinya. Kalau habis terjual, setelah dipotong modal, untungnya tak lebih dari Rp 35.000 per hari.

Kalau saja Suyat tidak diculik, mungkin nasib Tamiyem dan Paimin bisa berbeda. Tapi, apa boleh dikata. Kesewenang-wenangan aparat negara memaksa mereka terus bekerja keras hingga usia senja.

Lebih berat lagi adalah beban pikiran dan perasaan. Hingga saat ini keduanya masih selalu berharap anak bungsunya itu pulang. Apalagi Suyat juga satu-satunya anak yang bisa duduk di bangku perguruan tinggi. Bahkan, Suyat juga satu-satunya pemuda di desa itu yang berkuliah. Nama Suyat pun belum mereka hapus di kartu keluarga.

”Ne sih waras, ayo mulih. Ne wis ora ana, kuburane nengdi? (Kalau masih hidup, ayo pulang. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya),” kata Tamiyem.

”Ne dipenjara, nengdi (kalau dipenjara di mana),” tambah Paimin sambil mengisap rokok dalam-dalam dengan mata menerawang. Perasaan sedih, kesal, marah, dan tak berdaya tergambar di wajah keduanya.

Malam kelabu

Penderitaan Tamiyem dan Paimin berawal dari peristiwa sebelas tahun lalu. Sekitar pukul dua dini hari, tiba-tiba saja rumahnya didatangi sepuluh aparat berpakaian preman.

”Mereka mencari Suyat. Semua kamar diperiksa. Tidak tahu kenapa, sambil bertanya, mereka juga terus berjalan mengelilingi rumah. Tidak ada yang berhenti,” kata Suyadi (40), kakak sulung Suyat, menceritakan pencidukan malam itu.

Dikarenakan Suyat sedang tidak ada di rumah, aparat membawa Suyatno (39), kakak nomor dua Suyat. Dengan mata ditutup, Suyatno dibawa dengan mobil Kijang dan diinterogasi di suatu tempat. Saat itu Suyatno yang masih berusia 28 tahun dipaksa menceritakan keberadaan Suyat. ”Saya dipukuli di sini,” kata Suyatno sambil menunjuk ulu hatinya.

Setelah Suyat ditemukan di Desa Sumber, Suyatno diturunkan di Desa Karang Rejo. Sejak subuh itu, tepatnya 12 Februari 1998, Suyat raib. Saat itu Suyat berusia 23 tahun dan hampir merampungkan kuliahnya di Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta.

Belakangan, pihak keluarga baru paham Suyat aktif di Partai Rakyat Demokratik yang dipimpin Budiman Sudjatmiko dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi yang dituduh rezim Orde Baru sebagai dalang kerusuhan 27 Juli dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Sebagai anak tertua, Suyadi sudah melakukan segala daya mencari adiknya. Banyak lembaga negara sampai istana sudah dia datangi. Tapi, upaya itu belum juga membuahkan hasil. ”Jawabannya sama: diusahakan,” ujarnya.

Sebelas tahun sudah Suyadi berjuang. Kini, dia merasa lelah. Terlebih, masalah yang dihadapi keluarganya pun tidak ringan.

Putri sulungnya, Dewi (12), tunarungu sejak usia tiga hari. Alat bantu dengar masih bisa membantu. Tapi, karena harganya Rp 5 jutaan, Suyadi yang bekerja sebagai tukang kayu dan istrinya, Suwarni, sebagai penjahit, tak sanggup membelinya.

Tiga tahun belakangan, Dewi juga menderita penyakit kulit. Pigmen kulit hitam di beberapa jarinya yang lentik berubah menjadi putih. ”Kalau masih hidup, Suyat pasti sudah bisa mengangkat ekonomi keluarga,” ujarnya mengeluh.

Harapan kepada DPR

Keluarga Suyat sesungguhnya pantas marah kepada negara ini. Pemerintah yang seharusnya melindungi segenap bangsa justru mengambil buah hati mereka. Para pejabat yang sekarang merasakan ”manisnya” reformasi, menikmati ”empuknya” kursi kekuasaan, pun seakan amnesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira memeriksa aparat terkait kasus penculikan, sesungguhnya pun tahu banyak kasus ini, tetapi juga belum berbuat banyak. Pengadilan HAM Ad Hoc tidak dibentuk. Pencarian orang yang masih hilang tidak dilakukan. Rehabilitasi dan kompensasi untuk keluarga korban tidak diberikan.

Kini, 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tergabung dalam Panitia Khusus Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998 memiliki kesempatan memperbaiki keadaan itu pada bulan Ramadhan karena akan membuat rekomendasi. Semoga, mereka tidak menutup mata dan hati terhadap penderitaan keluarga Suyat.

Terkecuali, para pejabat di negeri ini lebih memilih untuk tutup mata.

Monday, September 07, 2009

Justice for Munir is Justice for All!


JUSTICE FOR MUNIR,
JUSTICE FOR ALL!


September 7, 2009 – Today marks the 5th anniversary of the murder of the former AFAD Chairperson, Munir. It has been five years ago since our Federation received a text message about the sudden death of Munir. Incredible was the message we received about the death of a man who, at the prime of his life, was contributing to a large measure, to the cause of human rights and democratization process of Indonesia and in the rest of the world. More revolting was it to know, two months later, that the most courageous human rights defender of Indonesia was poisoned by a lethal dose of arsenic allegedly by elements of the military intelligence in Indonesia, the BIN.

Five years have passed. While Pollycarpus, the Garuda pilot implicated for the murder, and former Garuda president Indra Setiawan were found guilty and sentenced for twenty years and 12 months imprisonment, the news about the acquittal of Major General (ret.) Muchi Purwopranjo is a manifestation of continuing impunity in Indonesia. For this, the Asian Federation Against Involuntary Disappearances and the rest of the international movement against enforced disappearances continue to cry for truth and justice for Munir.

A week prior to the anniversary of Munir, the Asian Federation Against Involuntary Disappearances visited Indonesia to conduct series of activities related to the entry into force of the UN Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance.

The series of activities from September 1-6 were culminated with our participation in the every Thursday rally in front of the Presidential Palace. It was the 125th day since the families of the disappeared and other victims of human rights violations in Indonesia, inspired by Argentina’s Madres de Plaza de Mayo, have been weekly conducting their protest demonstration.

On that occasion, representatives of AFAD from the Philippines and Nepal and of its Latin American counterpart, the Latin American Federation of Associations of Relatives of Disappeared-Detainees were physically present. Their presence was a concrete manifestation of solidarity with Suciwati and her family and with Munir’s larger family of victims of the 1965 massacre; the 1998 riot resulting in killings, imprisonment and disappearances of persons, the Tanjung Priok victims and many other victims and defenders of human rights in a country devastated by 32 years of dictatorship.

As the present administration of President Sucilo Bambang Yudhoyono has received a landslide victory and will soon officially receive a new mandate in October 2009, AFAD once again calls on the Indonesian government to leave no stone unturned to facilitate that truth be ferreted out, justice be served and that the mastermind of Munir’s treacherous murder be punished to the full extent of the law.

Munir spent several years of his life as a human rights defender to the cause of the disappeared. He actively participated in the drafting and negotiation process of the UN Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance. An apt tribute for Munir during his 5th death anniversary is the Indonesian government’s ratification of the UN Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance.

Thus, on this occasion, as we seek for justice for Munir and for all victims of human rights violations, we reiterate our call to the Indonesian government for the immediate ratification of the UN Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance. It will be an apt tribute to Munir and the most precious gift which the Indonesian government can give to the families of the disappeared whom Munir lived and died for.

Justice for Munir, Justice for All!
Signed by:


MUGIYANTO MARY AILEEN D. BACALSO
Chairperson Secretary-General

Friday, September 04, 2009

Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa




RATIFIKASI KONVENSI PERLINDUNGAN SEMUA ORANG DARI PENGHILANGAN PAKSA
WUJUD KONSISTENSI KOMITMEN PENGHORMATAN HAM PEMERINTAH INDONESIA


Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) bersama dengan Asian Federation Against Enforce/Involuntary Disappearance (AFAD) dan Latin American Federation of Associations of Relatives of Disappeared-Detainees (FEDEFAM) kembali mendesak Departemen Luar Negeri sebagai bagian dari pemerintah RI untuk segera mengambil langkah-langkah konkret dalam upaya meratifikasi Konvensi Perlindungan terhadap Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Internasional Convention for the Protection of All Person from Enforced Disappearances).

Pada Desember 2006, Majelis Umum PBB mengadopsi konvensi ini sebagai sebuah instrumen Internasional untuk melawan dan menghentikan praktek penghilangan paksa di muka bumi. Hingga saat ini tercatat 81 negara telah menandatangani Konvensi ini dan 13 negara telah melakukan ratifikasi.

Kami kembali mengingatkan bahwa Pemerintah Indonesia telah berjanji untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu pilar utama dalam reformasi tata internasional yang baru, sebagaimana dinyatakan dalam Pidato Resmi Dewan HAM PBB, Maret 2007. Bahkan Menteri Hukum dan HAM juga menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk segera menandatangani konvensi ini.

Hal serupa dinyatakan dalam beberapa kali pertemuan antara pihak Departemen Luar Negeri kepada keluarga korban penghilangan paksa sepanjang 2007 dan 2008 ini. Komnas HAM dan Departemen Hukum dan HAM juga berjanji untuk memasukkan rencana meratifikasi konvensi ini dalam Rancangan Nasional Hak Asasi Manusia 2010-2015. Bahkan Pemerintah Indonesia dan Timor Leste telah mekomendasikan pembentukan Komisi Orang Hilang dalam laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan.

Di sisi lain, komunitas HAM internasional telah mengakui konsistensi pemerintah Indonesia dalam melindungi HAM dengan mempercayakan pemerintah Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB, anggota Dewan Keamanan PBB dan Wakil Anggota Dewan HAM PBB.
Pemerintah Indonesia bahkan memerankan peran yang cukup aktif dalam pembentukan mekanisme regional di bidang HAM melalui pembentukan Asian Human Rights Body.

Komitmen politik internasional tersebut tak cukup jika tidak disertai oleh langkah nyata melalui upaya pertanggungjawaban negara terhadap warganya sendiri. Hal ini akan mencerminkan sejauh mana komitmen pemerintah RI akan mengedepankan pentingnya isu perlindungan dan promosi atas non-derogable rights (hak-hak asasi yang paling fundamental).

Kami megaskan bahwa ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Setiap Orang terhadap Penghilangan Paksa sesungguhnya akan membawa keuntungan besar bagi bangsa Indonesia, yaitu
(1) menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia,
(2) memberikan kontribusi besar dalam upaya reformasi hukum di Indonesia dimana Konvensi akan menyempurnakan pembentukan perangkat
hukum yang melindungi segenap bangsa Indonesia, terutama dari praktek keji penghilangan paksa,
(3) menempatkan pemerintah Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain terutama dalam kewibawaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,
(4) menegaskan peran Indonesia sebagai motor di dunia internasional, terutama di wilayah Asia, dalam upaya memajukan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Perwujudan komitmen tersebut merupakan bentuk konsistensi upaya pemerintah Indonesia, khususnya dalam pemerintahan baru dalam menghormati dan melindungi HAM sekaligus memberikan rasa keadilan bagi korban.

Jakarta, 4 September 2009.

IKOHI – KONTRAS – AFAD – FEDEFAM

Thursday, September 03, 2009



UNDANGAN

DISKUSI PUBLIK
PERINGATAN 5 TAHUN KASUS MUNIR
“MENGENANG PAHLAWAN ORANG HILANG”


Rabu, 3 September 2009
Waktu 13.30 – 15.30
(Dilanjutkan dengan aksi kamisan dan Ditutup dengan buka puasa bersama)
Tempat : Kantor Kontras
Jl. Borobudur No. 14
Jakarta Pusat

Pembicara
RUTH LLANOS
Latin American Federation of Associations of Relatives of Disappeared-Detainees (FEDEFAM)

MARY AILEEN D .BACALSO
Secretary – General Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD)

MANDIRA SHARMA
Direktur Eksekutif dan pendiri Advocacy Forum di Nepal

BUDIMAN SUDJATMIKO
Anggota DPR RI

USMAN HAMID
Koordinator KontraS

Moderator :
MUGIYANTO
Ketua IKOHI dan Presiden AFAD

JAKARTA, 1 September 2009
IKATAN KELUARGA ORANG HILANG (IKOHI)
DAN
KOMISI UNTUK ORANG HILANG DAN KORBAN TINDAK KEKERASAN (KONTRAS)

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)