<body bgcolor="#000000" text="#000000"><!-- --><div id="flagi" style="visibility:hidden; position:absolute;" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><div id="flagtop"></div><div id="top-filler"></div><div id="flagi-body">Notify Blogger about objectionable content.<br /><a href="http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=1200"> What does this mean? </a> </div></div><div id="b-navbar"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-logo" title="Go to Blogger.com"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/logobar.gif" alt="Blogger" width="80" height="24" /></a><div id="b-sms" class="b-mobile"><a href="sms:?body=Hi%2C%20check%20out%20%5B%20Ikatan%20Keluarga%20Orang%20Hilang%20Indonesia%20%5D%20%3A%3A%20IKOHI%20Indonesia%20at%20ikohi.blogspot.com">Send As SMS</a></div><form id="b-search" name="b-search" action="http://search.blogger.com/"><div id="b-more"><a href="http://www.blogger.com/" id="b-getorpost"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_getblog.gif" alt="Get your own blog" width="112" height="15" /></a><a id="flagButton" style="display:none;" href="javascript:toggleFlag();" onmouseover="showDrop()" onmouseout="hideDrop()"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif" name="flag" alt="Flag Blog" width="55" height="15" /></a><a href="http://www.blogger.com/redirect/next_blog.pyra?navBar=true" id="b-next"><img src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_nextblog.gif" alt="Next blog" width="72" height="15" /></a></div><div id="b-this"><input type="text" id="b-query" name="as_q" /><input type="hidden" name="ie" value="ISO-8859-1" /><input type="hidden" name="ui" value="blg" /><input type="hidden" name="bl_url" value="ikohi.blogspot.com" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_this.gif" alt="Search This Blog" id="b-searchbtn" title="Search this blog with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value='ikohi.blogspot.com'" /><input type="image" src="http://www.blogger.com/img/navbar/4/btn_search_all.gif" alt="Search All Blogs" value="Search" id="b-searchallbtn" title="Search all blogs with Google Blog Search" onclick="document.forms['b-search'].bl_url.value=''" /><a href="javascript:BlogThis();" id="b-blogthis">BlogThis!</a></div></form></div><script type="text/javascript"><!-- var ID = 3565544;var HATE_INTERSTITIAL_COOKIE_NAME = 'dismissedInterstitial';var FLAG_COOKIE_NAME = 'flaggedBlog';var FLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/flag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var UNFLAG_BLOG_URL = 'http://www.blogger.com/unflag-blog.g?nav=4&toFlag=' + ID;var FLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/flag.gif';var UNFLAG_IMAGE_URL = 'http://www.blogger.com/img/navbar/4/unflag.gif';var ncHasFlagged = false;var servletTarget = new Image(); function BlogThis() {Q='';x=document;y=window;if(x.selection) {Q=x.selection.createRange().text;} else if (y.getSelection) { Q=y.getSelection();} else if (x.getSelection) { Q=x.getSelection();}popw = y.open('http://www.blogger.com/blog_this.pyra?t=' + escape(Q) + '&u=' + escape(location.href) + '&n=' + escape(document.title),'bloggerForm','scrollbars=no,width=475,height=300,top=175,left=75,status=yes,resizable=yes');void(0);} function blogspotInit() {initFlag();} function hasFlagged() {return getCookie(FLAG_COOKIE_NAME) || ncHasFlagged;} function toggleFlag() {var date = new Date();var id = 3565544;if (hasFlagged()) {removeCookie(FLAG_COOKIE_NAME);servletTarget.src = UNFLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = false;} else { setBlogspotCookie(FLAG_COOKIE_NAME, 'true');servletTarget.src = FLAG_BLOG_URL + '&d=' + date.getTime();document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;ncHasFlagged = true;}} function initFlag() {document.getElementById('flagButton').style.display = 'inline';if (hasFlagged()) {document.images['flag'].src = UNFLAG_IMAGE_URL;} else {document.images['flag'].src = FLAG_IMAGE_URL;}} function showDrop() {if (!hasFlagged()) {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'visible';}} function hideDrop() {document.getElementById('flagi').style.visibility = 'hidden';} function setBlogspotCookie(name, val) {var expire = new Date((new Date()).getTime() + 5 * 24 * 60 * 60 * 1000);var path = '/';setCookie(name, val, null, expire, path, null);} Function removeCookie(name){var expire = new Date((new Date()).getTime() - 1000); setCookie(name,'',null,expire,'/',null);} --></script><script type="text/javascript"> blogspotInit();</script><div id="space-for-ie"></div>
IKOHI

Friday, October 29, 2010

Belasungkawa untuk Asmara Nababan


Untuk Keluarga Besar Bang As,
Sahabat Bang As,
Para pejuang HAM dan kita semua,


Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyampaikan duka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Bang As. Semoga beliau beristirahat dengan tenang dan mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk keluarga dan sahabat-sahabat yang ditinggalkannya, semoga selalu diberi kekuatan dan ketabahan.

Bagi IKOHI, Bang As adalah salah satu pejuang HAM dan pembela hak-hak korban yang gigih dan konsisten. Beliau tidak pernah berhenti memberi masukan pada kami, dan memikirkan jalan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu. Bang As adalah inspirasi di tengah kebuntuan.

Bang As juga adalah tokoh HAM senior yang sangat kami hormati. Ia telah mampu menjembatani perbedaan-perbedaan pikir diantara para aktifis HAM dan para korban. Bang As adalah seorang fasilitator.

Kami merasa kehilangan Bang As. Tapi kami yakin, tiap fase sejarah akan melahirkan tokok-tokoh gigih pembela HAM dan korban seperti Munir dan Bang As.

Sekali lagi, selamat jalan Bang As.
Bang As telah paripurna menjalankan tugas dunia yang belum selesai. Kini tinggal kami yang harus menuntaskannya.

Dari kami, IKOHi dan korban pelanggaran HAM yang berada di dalamnya.


Mugiyanto
Ketua

Friday, October 22, 2010

Suharto Bukan Pahlawan


Pernyataan Sikap
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia – IKOHI


Menolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto!!!


Salam solidaritas,

Kementerian Sosial, menurut Sekretaris Kabinet Dipo Alam, akan segera mengajukan 10 nama tokoh yang telah diseleksi untuk memperoleh gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto. Salah satu nama tokoh yang telah disaring oleh Kementerian Sosial adalah Soeharto. Tentu saja munculnya nama Soeharto untuk diajukan menjadi Pahlawan Nasional menjadi perdebatan hangat akhir-akhir ini.

Jelas, bagi IKOHI sebagai organisasi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia, menolak dengan keras jika Soeharto diajukan sebagai Pahlawan Nasional. Soeharto sebagai pemimpin rezim Orde Baru tentunya memiliki peranan yang sangat besar terhadap terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM di masa tersebut. Soeharto sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau yang sekarang dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) tentunya mengetahui dan membiarkan terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.

Partai-partai politik yang sekarang memiliki kursi di parlemen pun akhirnya terbelah pandangannya. Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat banyak para pendukung Soeharto yang memiliki kekuasaan dan posisi strategis di pemerintahan saat ini. Ini tentu saja sedikit menjelaskan mengapa kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM dan berada di Kejaksaan Agung, tidak pernah mau diselesaikan oleh pemerintahan sekarang.

Hingga saat ini kepercayaan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM terhadap pemerintahan SBY sudah semakin menurun. Lolosnya nama Soeharto dari sistem penyaringan yang dilakukan oleh Kementerian Sosial jelas sangat mengecewakan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Namun jika saja Presiden SBY nantinya memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, maka jelas bahwa SBY memang tidak pernah berpihak kepada kepentingan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Sudah 12 tahun sejak reformasi bergulir di Indonesia, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mendatangi berbagai institusi negara untuk mendesak pemerintah agar menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Namun hingga kini, harapan agar pemerintah mau untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu telah semakin memudar. Janji-janji manis selalu diucapkan oleh SBY dan bawahan-bawahannya untuk meredam ketidaksabaran para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menunggu selama 12 tahun. Namun kenyataannya, janji-janji manis tersebut, tidak pernah dijalankan oleh pemerintahan SBY.

Apalagi jika Presiden SBY memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh SBY tidak pernah memberikan komitmennya secara serius untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan memenuhi hak-hak korban dan keluarga pelanggaran HAM.

Jakarta, 22 Oktober 2010
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia




Mugiyanto Wanmayetty
Ketua Sekretaris Umum

Tuesday, October 19, 2010

6 Tahun SBY gagal Menegakkan HAM


Pernyataan Sikap
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia – IKOHI

Rezim SBY gagal dalam menegakkan HAM di Indonesia !!!



Salam solidaritas,

Pada tanggal 20 Oktober 2010, kepemimpinan SBY tepat memasuki usia satu tahun dalam periode keduanya. Banyak orang mungkin, terlebih lagi para pendukung dari elit-elit politik, akan berbicara bahwa usia satu tahun tidak bisa dijadikan ukuran dalam menilai suatu kekuasaan. Namun tidak boleh dilupakan bahwa rezim SBY sudah berkuasa selama dua periode, artinya tanggal 20 Oktober 2010, merupakan 6 tahun masa berkuasanya rezim SBY.

Enam tahun berkuasa bukanlah waktu yang sebentar. Dalam waktu enam tahun kekuasaannya, seharusnya SBY dapat melakukan berbagai macam hal, khususnya dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Lalu apa saja yang telah dicapai oleh rezim SBY dalam penegakan HAM, khususnya dalam memenuhi hak-hak para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia? Bisa dibilang, Rezim SBY gagal dalam memenuhi hal diatas selama 6 tahun ini.

Periode kekuasaannya yang pertama, yaitu di tahun 2004 hingga 2009, rezim SBY gagal dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM, akhirnya harus terbengkalai di Kejaksaan Agung hingga saat ini. Kasus-kasus tersebut antara lain kasus Trisakti, Semanggi I dan II, tragedi Mei 1998, kasus penghilangan orang secara paksa pada periode 1997/1998, kasus Talangsari-Lampung serta kasus Wasior-Wamena. Tidak ada kemauan sama sekali dari rezim SBY untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut, padahal dalam penyelidikan Komnas HAM diketemukan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus diatas.

Selain itu, ratifikasi Statuta Roma yang sudah dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009, juga tidak dilaksanakan oleh rezim SBY. Sampai akhir kekuasaannya di periode pertamanya, ratifikasi Statuta Roma, yang akan mampu mencegah terjadinya kembalinya kasus-kasus pelanggaran HAM di kemudian hari, tidak juga diratifikasi dan tidak jelas ujungnya hingga saat ini.

Ketidakmauan rezim SBY untuk menegakkan HAM di Indonesia kembali terlihat ketika dalam program 100 hari pemerintahan periode keduanya, tidak ada sama sekali program penegakan HAM. Hal ini tentu saja kembali memperkuat bahwa rezim SBY memang tidak berkomitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia, khususnya kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Pada periode kedua kekuasaannya, rezim SBY malah mengangkat Sjafrie Sjamsoeddin, yang diduga melanggar HAM dalam sejumlah kasus di Indonesia, sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa rezim SBY ingin melindungi para pelanggar HAM di Indonesia dengan memberikan posisi strategis di dalam pemerintahannya. Pencalonan Timur Pradopo, yang diduga melanggar HAM dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti, sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) semakin menunjukkan menguatnya ketidakpedulian rezim SBY terhadap penegakan HAM di Indonesia.

Rekomendasi DPR tentang kasus penghilangan paksa para aktivis yang terjadi ditahun 1997/1998 juga hingga saat ini diabaikan oleh rezim SBY. Rekomendasi DPR yang diputuskan pada tanggal 28 September 2009 tersebut, padahal akan memberikan kepastian kepada keluarga korban penghilangan paksa untuk mengetahui nasib anggota keluarganya yang masih hilang. Namun lagi-lagi rezim SBY tidak peduli terhadap hal itu.

Yang termuktahir adalah lolosnya nama Soeharto sebagai calon orang yang akan diberikan gelar pahlawan nasional. Rezim SBY pastinya tidak mungkin lupa mengapa Soeharto pada tahun 1998 dilengserkan oleh gerakan rakyat Indonesia. Soeharto merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya berbagai kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Ini sekali menunjukkan bahwa rezim SBY memang tidak memiliki komitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia.

Wacana rekonsiliasi nasional yang digulirkan oleh rezim SBY akhir-akhir ini juga menjadi tanya besar bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Rekonsiliasi Nasional menjadi salah satu agenda penting bagi kemajuan demokratisasi bangsa ini, namun seharusnya rekonsialisasi nasional juga dibarengi dengan upaya pemberian keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta pengungkapan kebenaran atas suatu kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jika rezim SBY ingin menutup pintu keadilan dan pengungkapan kebenaran dengan menggulirkan wacana rekonsiliasi nasional, maka sebenarnya rezim SBY tidak ubahnya seperti rezim Soeharto yang selalu membelokkan kebenaran sejarah demi kelanggengan kekuasaannya.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) sebagai organisasi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia menyatakan bahwa rezim SBY telah gagal dalam menegakkan HAM di Indonesia. Bahkan kegagalan rezim SBY dalam menegakkan HAM di Indonesia tersebut, dikarenakan memang rezim SBY tidak memiliki komitmen untuk memberikan rasa keadilan dan memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM, serta menjamin rasa aman rakyatnya dari keberulangan kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di kemudian hari.

Jakarta, 19 Oktober 2010




Mugiyanto Wanmayetty
Ketua Sekretaris Umum

Monday, October 18, 2010

Pasar Lupa dan Transaksi Politik


Setahun Kabinet Indonesia Bersatu II Susilo Bambang Yudhoyono


Kami korban dan keluarga Korban pelanggaran HAM berat, hari ini menggelar “Pasar Lupa” di depan Istana Negara. “Pasar Lupa” adalah cermin pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu “lupa dan abai” dengan hak dan tuntutan kami para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.

Setahun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II; Negara gagal mengembalikan anak-anak kami, Negara gagal menjelaskan pembunuh anak, suami dan saudara kami, negara gagal melindungi kami dari diskriminasi berkepanjangan, negara gagal menjelaskan dan mempertanggungjawabkan apa yang terjadi dalam tragedi 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Trisakti 1998, 13-15 Mei 1998, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, Pembunuhan Munir 2004 dan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

Setahun KIB jilid II; yang terjadi adalah hiruk pikuk “transaksi politik” yang dangkal, layaknya dalam sebuah pasar. Substansi Politik yang sesungguhnya terabaikan dan terlupakan.

Setahun KIB jilid II; kekuatan Politik sebagai landasan penegakan HAM, hilang menguap sebatas janji. Instrumen penegakan Hukum dan HAM lumpuh tak berdaya, janji dan komitmen tak seragam dengan tindakan dan pilihan.

Setahun KIB jilid II: kami kecewa terhadap sikap Presiden SBY beserta Kabinetnya yang terus menerus mengabaikan hal-hal dibawah ini:

1. Mengabaikan rekomendasi DPR kepada Presiden untuk kasus penculikan dan penghilangan Paksa 1997/1998, sejak 28 September 2009.
2. Mengabaikan hasil Penyelidikan Komnas HAM untuk kasus Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Trisakti 1998, 13-15 Mei 1998, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, sejak 2002
3. Mengabaikan Pembebasan semua pelaku dalam Persidangan Pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok 1989, yang sarat dengan suap dan intimidasi.
4. Mengabaikan Pendapat Mahkamah Agung (MA) dan DPR RI serta Mahkamah Konstitusi kepada Presiden, perihal pemberian rehabilitasi kepada korban dan keluarga korban tragedi 1965/1966.
5. Mengabaikan Pengungkapan kasus pembunuhan Munir, 2004

Atas nama nilai-nilai kehidupan dan atas nama hak konstitusional, kami korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, dengan ini mendesak Presiden SBY beserta Kabinetnya, untuk segera menghentikan segala bentuk pengabaian terhadap hak-hak kami!! mengembalikan hak-hak kewarganegaraan kami!!.

Kami menolak dan mengecam segala bentuk transaksi politik, yang selalu meminggirkan makna dan arti dari politik yang sesungguhnya!!


Jakarta, 16 Oktober 2010
Korban dan Kelurga Korban: Tragedi 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, Trisakti 1998, 13-15 Mei 1998, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, Pembunuhan Munir 2004, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang (IKOHI)

Tuesday, October 05, 2010

Dirgahayu ke-12 IKOHI


Dirgahayu ke-12 IKOHI
“Mengobarkan (Kembali) Semangat Perjuangan untuk Keadilan dan Kebenaran”



IKOHI didirikan dengan karakter dan misi yang khas. Pendiriannya tidak hanya ditujukan untuk membantu memastikan agar proses transisi yang berjalan di Indonesia adalah transisi menuju demokrasi, sebagaimana karakter sebagian besar organisasi-organisasi HAM atau gerakan sosial yang lain. IKOHI dirikan, terutama adalah karena terjadinya peristiwa pelanggaran HAM dalam bentuk penculikan dan penghilangan paksa yang sistematis pada pertengahan 1997-1998 terhadap puluhan aktifis demokrasi yang bersuara kritis terhadap pemerintahan otoriter Suharto, Jadi kita bisa mengatakan bahwa seandainya saja peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, maka bisa dipastikan IKOHI tidak pernah ada.

Berangkat dari latar itu, kita bisa melihat bahwa alasan keberadaan IKOHI adalah untuk memastikan agar korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mendapatkan hak-haknya sebagaimana diakui oleh masyarakat internasional yang terdiri atas hak akan keadilan, kebenaran, hak atas pemulihan dan hak atas kepuasan, serta jaminan ketidakberulangan. IKOHI menganggap bahwa pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM adalah prasyarat minimal yang mutlak dilakukan untuk memastikan agar proses transisi yang terjadi memiliki karakter dan tujuan demokratis. Pencapaian tujuan ini dilakukan dengan menggunakan ruang demokrasi dan kebebasan yang dihasilkan oleh gerakan reformasi tahun 1998.

Metamorfosis
Sebagaimana kita sedang peringati saat ini, IKOHI dideklarasikan berdiri pada tanggal 17 September 1998. Selama tiga hari sebelumnya, mulai tanggal 14-16 September, Kontras bersama korban dan keluarga korban penculikan tahun 1997-1998 mendirikan tenda keprihatinan yang bertujuan untuk melakukan desakan pada pemerintah Habibie dan pengumpulan dana untuk kampanye internasional. Lalu sebelum keluarga korban pulang kembali ke rumah masing-masing, bersama Koordinator Kontras waktu itu, Munir, mereka mendeklarasikan berdirinya IKOHI sebagai wadah keluarga korban untuk tetap menjalin silaturahmi, dengan DT Utomo Raharjo, orang tua dari salah satu korban penghilangan paksa yang sampai saat ini belum diketahui nasibnya, Petrus Bima Anugerah, sebagai Ketua.

Selanjutnya secara kronologis, baru pada tahun 2000 Kontras memfasilitasi sebuah lokakarya nasional keluarga korban penghilangan paksa yang menghadirkan perwakilan korban dari luar daerah, termasuk dari Aceh, Papua, dan bahkan Timor Leste. Kebutuhan untuk memperkokoh tali silaturahmi dalam wadah IKOHI baru bisa dilakukan pada bulan Oktober 2002, dalam sebuah acara Kongres IKOHI yang pertama di Jakarta. Sejak saat ini, IKOHI tidak lagi menjadi organisasi yang secara eksklusif menjadi wadah korban penculikan tahun 1997-1998, tetapi sudah memiliki karakter nasional.

Dengan tetap memfokuskan kerja-kerja penguatan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, khususnya pada kasus penghilangan paksa, IKOHI bisa menjangkau semakin banyak komunitas korban di berbagai tempat di Indonesia. Organisasi-organisasi dan komunitas-komunitas korban pelanggaran HAM dari aneka kasus juga mulai mengenal dan berjaringan dengan IKOHI. Karena alasan inilah, dalam Kongres ke-2 yang dituanrumahi oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKPHAM) Sulawesi Selatan pada bulan Maret 2006, IKOHI disetujui untuk menjadi organisasi korban pelanggaran HAM secara umum, dengan penghilangan paksa sebagai fokus isu kampanye . Dalam Kongres yang dihadiri oleh perwakilan organisasi dan komunitas korban dari 14 wilayah di Indonesia itu disepakati pula IKOHI menjadi organisasi dengan keanggotaan dan jaringan yang otonom .

Dinamika organisasi, terutama dalam hubungannya antara “Pusat” dan “Daerah” tidaklah terlalu mulus sebagaimana diharapkan. Disana-sini terjadi kesalahpahaman, yangdisebabkan oleh tidak jelasnya fungsi dan peran antara mereka yang berada di “Pusat” dan yang di “Daerah”. Masa-masa ini adalah masa-masa yang sangat dinamis, dimana proses pembelajaran bagi para korban menjadi sangat maksimal, yang kemudian menjadi dasar kesepakatan-kesepakatan baru sebagaimana terjadi pada Kongres ke-3 IKOHI di Jakarta pada bulan Desember 2009. Pada Kongres tersebut disepakati organisasi IKOHI diubah dari perkumpulan menjadi sebuah Federasi. Perubahan ini sebenarnya bukan sebuah perubahan drastis, tetapi sebuah penegasan atas kecenderungan yang dikehendaki oleh semua struktur organisasi dan jawaban atas beberapa ketidakjelasan fungsi dan peran pada masa-masa sebelumnya.

Beberapa tantangan
Waktu adalah sesuatu yang relatif. Kita akan mengeluhkan lamanya waktu ketika masa-masa yang dilalui penuh dengan ketidaknyamanan. Sebaliknya, kita juga akan merasakan betapa singkatnya waktu ketika kita menikmati masa-masa untuk mengisinya. Lamanya waktu juga relatif, tergantung dengan ukuran pembandingnya.

Demikian juga dengan periode 12 tahun yang telah dilalui IKOHI. Bila dibandingkan dengan periode berjuangnya Saudara-saudara kita para korban dan keluarga korban yang terjadi pada tahiun 1965-1966, tentu 12 tahun adalah waktu yang relatif pendek. Tetapi ketika kita merasakan dan memikirkan masa-masa sulit yang kita jalani, ketika Negara tetap abai dengan tuntutan-tuntutan konstitusional kita, kita akan merasakan betapa waktu berjuang 12 tahun bukanlah waktu yang pendek. Terlebih lagi kalau kita merasa dan menyaksikan, betapa secara fisik para ibu, bapak, sahabat dan kawan-kawan yang terus memperjuangkan penuntasan kasus penghilangan paksa sudah mulai melemah.

Secara fisik, memang para ibu dan bapak itu sudah mengalami kesulitan untuk melakukan march atau jalan kaki dari Tugu Proklamasi atau Bunderan HI ke Istana Presiden, seperti yang dilakukan pada tahun 1998 atau 1999. Tetapi kita semua tahu, tidak ada yang berkurang dari semangat dan kegigihan para ibu dan bapak yang anak-anaknya masih dihilangkan oleh kekuasaan. Bahkan bisa dipastikan, selama pemerintah masih abai dan ingkar, semangat berjuang sebagian besar dari mereka malah semakin membara.

Sebuah puisi Wiji Thukul “Derita Sudah Naik Seleher” yang ditulis tanggal 17 November 1996 menemukan kebenarannya.

“kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku manjadi gelap

kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras

kaupaksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak”

Beberapa tantangan muncul pada masa-masa berjuang selama ini. Sebagian kecil dari tantangan-tantangan strategis yang muncul tersebut akan coba secara singkat disebutkan di sini.

Secara internal atau organik, tantangan terbesar IKOHI adalah bagaimana untuk menjadikan korban menjadi penyintas (survivor), lalu menjadi pejuang HAM (HRD). Hanya dengan transformasi ini, misi strategis IKOHI untuk menjadikan korban sebagai subjek dari perjuangan untuk keadilan, HAM dan demokrasi bisa terwujud. Ukuran keberhasilan menjawab tantangan ini antara lain bisa diukur dengan seberapa banyak para korban atau penyintas menjadi pengurus organisasi atau organiser bagi komunitas-komunitasnya. Ukuran lainnya adalah seberapa banyak dan seberapa luas cakupan berdirinya komunitas atau organisasi korban pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Selain itu, faktor regenerasi juga bisa dijadikan ukuran keberhasilan kita menjawab tantangan organik ini.

Selain itu, dukungan dana pada organisasi untuk mampu menjalankan misi dan visinya juga masih merupakan tantangan yang sangat besar. Sebuah organisasi korban yang merupakan organisasi gerakan sosial idealnya mendasarkan dukungan finansialnya pada anggota, atau setidaknya pada publik. Namun sampai hari ini, sebagian besar dari dukungan dana yang didapatkan oleh IKOHI masih bersumber dari lembaga donor. Bagi pengurus Federasi IKOHI, tantangan ini masih menjadi tantangan sangat besar yang musti ditaklukkan atau diminimalisir. Ketidakmampuan menghadapi tantangan ini akan bisa menjerumuskan IKOHI menjadi organisasi korban yang “artificial”, bukan yang sejati atau hanya papan nama. Roh IKOHI sebagai organisasi korban pelanggaran HAM dengan spirit “gerakan” akan bisa terkikis.

Secara programatik, tantangan terbesar IKOHI adalah sejauh mana IKOHI tetap konsisten berada pada misi yang ditegaskannya ketika IKOHI didirikan atau sebagaimana Kongres memutuskan. Kegigihan, kecermatan, “keimanan” IKOHI untuk terutama menjalankan program-program penguatan dan pemberdayaan, serta program-program lain yang menjadi kebutuhan mendesak korban dan keluarga korban, serta komunitas korban adalah ukurannya. Demikian juga dengan kerja-kerja kampanye untuk keadilan.

Sampai 12 tahun ini, IKOHI dipastikan tidak keluar dari koridor visi dan misi orgnisasi. Tetapi itu saja tidak cukup, IKOHI harus beberapa langkah lebih maju dengan benar-benar menjalankan apa-apa yang sudah dicanangkan, seperti program program penguatan ekonomi korban dan pembukaan akses pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial secara layak dan memadahi.

Secara politik, IKOHI masih dihadapkan pada situasi dimana komitmen negara untuk memutus rantai impunitas belum menjadi tindakan nyata. Ia masih hanya menjadi pemanis bibir untuk tujuan pencitraan elit politik. Pemerintah sampai hari ini masih belum berani menarik garis batas demarkasi yang jelas antara pemerintahan yang menghargai HAM dan keadilan dengan pemerintahan otoriter masa lalu yang menihilkan HAM dan keadilan bagi masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, penguatan (secara kualitas) dan perluasan (secara kuantitas) organisasi adalah mutlak, sehingga IKOHI memiliki daya gedor dan dorong serta posisi tawar yang cukup tinggi ketika berhadapan dengan kekuasaan.

Pencapaian

Rasanya memang lebih mudah bagi kita untuk mencatat kelemahan dan kekurangan, dan agak sulit mengenali apalagi mensyukiri pencapaian dan kemenangan. Tapi, sebagaimana hampir tiap tahun saya sampaikan, selalu penting bagi kita untuk mengenali dan mensyukuri keberhasilan dan kemenangan, walaupun kecil.

Yang jelas, kemenangan terbesar IKOHI adalah didirikannya IKOHI itu sendiri, oleh keluarga korban. Pendirian IKOHI adalah jawaban nyata yang tegas atas usaha penaklukan dan pembungkaman yang dilakukan oleh Negara terhadap suara-suara kritis masyarakat. Hal ini bisa dianggap sebagai kemenangan organik atau organisasional.

Kemenangan dan keberhasilan lanjutannya ada banyak sekali untuk didata oleh masing-masih dari kita, karena selain bersifat organisasional, seringkali kemenangan dan keberhasilan itu bersifat personal. Tidak hanya itu, kemenangan dan keberhasilan tersebut juga seringkali tidak bisa dilihat.

Tetapi, beberapa yang menonjol dan layak untuk disebut adalah dilaksanakan dan tuntasnya penyelidikan kasus penghilangan paksa 1997-1998 oleh Komnas HAM pada tahun 2006 dan dikeluarkannya rekomendasi DPR pada Pemerintah (Presiden SBY) mengenai kasus tersebut pada tahun 2009 adalah juga pencapaian yang sangat besar yang layak dihargai dan syukiri.

Akan tetapi, kita semua juga menyadari bahwa penyelesaian tuntas dan menyeluruh atas kasus tersebut adalah jawaban yang masih terus kita prjuangkan.

Masa masa krusial
Memasuki tahun ke-12, IKOHI dihadapkan pada masa-masa krusial dan menentukan. Secara organisasional, IKOHI dituntut untuk mempertegas identitas dirinya sebagai organisasi korban pelanggaran HAM dengan roh gerakan yang kental. Secara programatik, IKOHI juga dituntut untuk secara lebih serius merealisasikan program-program penguatan dan pemberdayaan yang mampu menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban yang nota bene adalah anggota dan konstituennya. Sudah bukan waktunya lagi kita menjawab tuntutan kebutuhan para anggota (korban) dengan respon-respon yang sporadis dan fragmentatif. IKOHI harus benar-benar mulai menjalankannya secara menyeluruh, programatis dan strategis.

Untuk mampu melakukan hal tersebut, kerjasama dengan organisasi yang serius dan memiliki kerangka pikir yang sama mutlak untuk dilakukan. Kerja-kerja pendokumentasian dan assessment kondisi dan kebutuhan korban dan keluarga korban mutlak dilakukan. Rintisan awal pendirian koperasi korban seperti yang dilakukan oleh IKOHI Jakarta dan tempat-tempat lain sangat mendesak untuk diperkuat dan dikembangkan, serta dijadikan model bagi komunitas korban di wilayah yang belum melakukannya. Demikian juga dengan program-program yang ditujukan untuk membuka akses pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial bagi keluarga korban pelanggaran HAM.

Pada wilayah kerja-kerja advokasi dan kampanye untuk keadilan, kini IKOHI juga memasuki masa-masa menentukan. Hal ini terjadi karena setelah dikeluarkannya rekomendasi DPR atas kasus penghilangan paksa tahun 1997-1998 , ada kecenderungan bahwa pemerintah hanya akan memberikan kompensasi kepada korban. Dari komunikasi informal yang terjadi selama ini antara pemerintah dengan IKOHI, dan dari sumber-sumber lain, ditemukan adanya kecenderungan pemerintah menghindari pemenuhan hak-hak keadilan dan kebenaran. IKOHI dituntut untuk sangat cermat dan hati-hati serta selalu berkonsultasi dengan korban pada kemungkinan-kemungkinan tawaran pemerintah untuk menukar keadilan dan kebenaran dengan kompensasi materiil.

IKOHI berpegang pada prinsip HAM yang diakui oleh masyarakat internasional, yang juga diakui oleh pemerintah yang memandang bahwa hak-hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan, dimana kompensasi dan rehabilitasi berada didalamnya, bukanlah hak-hak yang bisa saling ditukar atau menggantikan, tetapi hak-hak yang saling melengkapi.

IKOHI tidak menolak dipenuhinya hak-hak pemulihan korban oleh Negara, dengan syarat bahwa pemenuhan hak-hak tersebut tidak menutup pintu, apalagi dijadikan sebagai pengganti hak korban atas kebenaran dan keadilan.

Kita tentu belajar dari pengalaman korban Tanjung Priok 1984, dimana santunan ekonomi yang dibungkus dengan baju “islah” telah memecah belah komunitas korban. Hal yang serupa juga terjadi dengan organisasi korban di Argentina yang sering kita jadikan contoh, yaitu “Ibu-ibu Plaza de Mayo” yang karena kebijakan kompensasi oleh pemerintah telah memecah mereka menjadi dua, yaitu “Ibu-ibu Plaza de Mayo” dengan “Ibu-ibu Plaza de Mayo-Garis Pondasi” (Linea Fundadora).

“Negosiasi” (kalaupun terjadi) dengan pemerintah mengenai penanganan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip yang selama 12 tahun dipegang teguh oleh IKOHI. Dalam situasi seperti inilah langkah-langkah yang diambil oleh IKOHI menjadi sangat menentukan.

Pada kesempatan peringatan ulang tahun ke-12 kali ini, IKOHI juga menandainya dengan mengadakan aksi kemah keprihatinan dengan menginap di depan istana presiden mulai hari Senin, 27 September 2010. Selain untuk mengingatkan kita semua atas Aksi Tenda Keprihatinan yang melatari pendirian IKOHI tahun 1998 yang lalu, aksi menginap di depan istana presiden ini juga kami sadari sebagai aksi yang mungkin dinilai orang nekat atau “kurang kerjaan” yang lain setelah aksi yang dilakukan keluarga korban di markas Kopassus di Cijantung pada awal tahun 2010 ini,.

Bagi keluarga korban dan IKOHI, aksi kali ini dilakukan sebagai ekspresi atas semakin menipisnya kesabaran keluarga korban pada pemerintah SBY. Selama beberapa tahun terakhir selama SBY bekuasa, dan terutama selama setahun terakhir, kami merasa seperti diberi harapan dan angin surga oleh Presiden SBY dan pendukung-pendukungnya yang seolah-olah hendak menyelesaikan kasus dan menindaklanjuti rekomendasi DPR.

Kami hanya bermaksud “mengingatkan” Presiden SBY, bahwa bukan hanya dirinya yang boleh curhat ketika merasa diperlakukan tidak baik. Keluarga korban pelanggaran HAM terlebih lagi, memiliki hak konstitusional untuk menuntut tanggung jawab Negara, khususnya Presiden sebagai kepala pemerintah, untuk memenuhi hak hak korban. Yang presiden perlu ketahui juga, pemenuhan hak-hak korban adalah tanggung jawab dan kewajiban konstitusionalnya!

Setiap hari adalah Asyura, setiap Tempat adalah Karbala

Selama beberapa tahun terakhir, kami memang merasakan betapa pekerjaan-pekerjaan penegakan HAM dan keadilan seolah menjadi “business as usual”, baik bagi organisasi-organisasi HAM, terlebih lagi bagi Negara.

Dalam situasi seperti hari ini, terutama ketika Negara tidak hanya abai, tetapi khianat terhadap kewajiban konstitusionalnya, sudah sepatutnya organisasi-organisasi korban pelanggaran HAM sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih luas perlu melakukan refleksi, apakah sudah tepat menganggap kerja-kerja untuk keadilan sebagai business as usual. Penting rasanya bagi kita untuk mengingat referensi-referensi sejarah sebagaimana sering terdengar dalam slogan-slogan pergerakan yang bisa menggetarkan denyut jantung. Kita tentu masih ingat dengan slogan “Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala”, yang mengacu pada pertempuran antara Yazid bin Muawiyah melawan Imam Hussain pada tanggal 10 Asyura 61 Hijriyah di Karbala, Irak. Peristiwa ini mengandung pesan perlunya perlunya pengorbanan dan kerja sangat keras untuk memperjuangkan kebaikan, kebenaran dan keadilan.

Semoga kita semua tetap memiliki semangat dan kegigihan dalam kerja-kerja untuk keadilan, kebenaran, demokrasi, kebebasan, keberagaman dan perdamaian.

Selamat ulang tahun ke-12 IKOHI. Selamat berjuang korban pelanggaran HAM di Indonesia!

Mugiyanto

NAVIGATION
BUKU BARU!!!

Image and video hosting by TinyPic>

Kebenaran Akan Terus Hidup
Jakarta : Yappika dan IKOHI xx, 220 hlm : 15 x 22 cm
ISBN: Cetakan Pertama,
Agustus 2007
Editor : Wilson
Desain dan Tata letak :
Panel Barus
Diterbitkan Oleh :
Yappika dan IKOHI
Dicetak oleh :
Sentralisme Production
Foto : Koleksi Pribadi

Dipersilahkan mengutip isi buku dengan menyebutkan sumber.

Buku ini dijual dengan harga RP. 30,000,-. Untuk pembelian silahkan hubungi IKOHI via telp. (021) 315 7915 atau Email: kembalikan@yahoo.com


NEWEST POST



ARCHIVES


ABOUT



IKOHI was set up on September 17, 1998 by the parents and surfaced victims of disappearances. Since then, IKOHI was assisted by KONTRAS, until October 2002 when finally IKOHI carried out it first congress to complete its organizational structure. In the Congress, IKOHI decided its two priority of programs. They are (1) the empowerment of the social, economic, social and cultural potential of the members as well as mental and physical, and (2) the campaign for solving of the cases and preventing the cases from happening again. The solving of the cases means the reveal of the truth, the justice for the perpetrators, the reparation and rehabilitation of the victims and the guarantee that such gross violation of human right will never be repeated again in the future.

Address
Jl. Matraman Dalam II, No. 7, Jakarta 10320
Indonesia
Phone: 021-3100060
Fax: 021-3100060
Email: kembalikan@yahoo.com


NETWORK


COUNTERPARTS

Indonesian NGOs
State's Agencies
International Organizations

YOUR COMMENTS

Powered by TagBoard
Name

URL / Email

Comments [smilies]



engine: Blogger

image hosting: TinyPic








layout © 2006
IKOHI / content © 2006 IKOHI Indonesia

public licence: contents may be cited with acknowledgement of the owner

best view with IE6+ 1024x768 (scripts enabled)